Cherrémio Chii Newbie
Age : 27 Reputation : 5 Jumlah posting : 265
| Subyek: Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.7) Mon Mar 28, 2011 3:29 pm | |
| 7. POIROT MEMBAYAR HUTANG POIROT menarik saya ke samping ketika kami keluar dari Stylites Arms, Saya mengerti maksud¬nya. Dia menunggu dua orang Scotland Yard itu. Beberapa saat kemudian mereka muncul. Poirot maju ke depan dan bicara dengan laki-laki yang pendek. "Saya pikir Anda tidak mengenali saya lagi, Inspektur Japp." "Oh, Tuan Poirot!" katanya sambil berpaling kepada temannya. "Kau pernah mendengar ceritaku tentang Tuan Poirot, kan? Tahun 19C4 Tuan Poirot dan aku bekerja sama. Kasus pemalsu¬an Abercrombie—akhirnya dia tertangkap di Brussel, Ah, hari-hari yang bersejarah. Anda masih ingat 'Baron' Altara? Anda benar-benar menghadapi seorang bajingan licin. Dia menghi¬lang dari genggaman separuh polisi Eropa. Tetapi akhirnya tertangkap di Antwerpen. Siapa lagi kalau bukan karena Tuan Poirot?" Setelah basa-basi itu selesai, saya mendekati mereka dan diperkenalkan pada Inspektur Japp maupun kawannya, Tuan Summerhaye. 'Saya tak perlu menanyakan apa yang Anda lakukan di sini, Tuan-tuan," kata Poirot. Japp mengedipkan sebelah matanya. "Kasus yang sudah sangat jelas." Tetapi Poirot menyela dengan serius. "Maaf. Pendapat saya lain." "Ah, mengapa?" kata Summerhaye, membuka mulut untuk pertama kali. "Laki-laki itu jelas pelakunya. Tapi saya heran juga kenapa dia begitu tolol." ' Tetapi Japp memandang Poirot penuh per¬hatian. "Tahan dulu perasaanmu, Summerhaye," kata¬nya. "Aku kenal Tuan Poirot. Pertimbangannya akan mendapat prioritas. Kalau aku tidak keliru, Tuan Poirot menyimpan sesuatu yang amat penting. Benarkah demikian?" Poirot tersenyum. "Saya memang punya beberapa kesimpulan." Summerhaye memandang dengan agak skeptis. Tetapi Japp terus memperhatikan Poirot. "Begini," kata Japp. "Sejauh ini kita melihat kasus ini hanya dari luar. Karena itu kurang menguntungkan bagi Scotland Yard sebab pembu¬nuhan itu baru diketahui setelah pemeriksaan. Banyak yang terjadi sebelumnya. Dan Tuan Poirot yang telah lebih dahulu terlibat di dalamnya daripada kita, akan tahu lebih banyak. Kita bahkan mungkin tidak secepat ini datang, seandainya dokter itu tidak memberi tahu Pemeriksa. Tapi Tuan Poirot telah datang terlebih dahulu dan mungkin telah menemukan petunjuk-petunju yang berarti. Dari bukti-bukti dalam pemeriksaan, jelas bahwa Tuan Inglethorp lah yang telah membunuh istrinya. Seandainya ada orang lain yang mengatakan bukan dia, pasti akan kutertawa-kan. Terus terang aja, aku sangat heran mengapa juri tidak memberikan putusan. Mereka menggan¬tung perkara itu. Mungkin Pemeriksa itu yang menginginkan." "Barangkali ada surat perintah di saku Anda untuk menuntut dia sekarang," kata Poirot memancing. Wajah Japp berubah menjadi serius dan sikapnya menjadi resmi. "Barangkali. Barangkali juga tidak," katanya datar. Poirot memandangnya sambil berpikir-pikir. "Aku berharap, Tuan-tuan, dia tidak akan ditangkap." "Kelihatannya begitu," kata Summerhaye sinis. Japp memandang Poirot dengan wajah ber¬tanya-tanya. "Apa Anda bisa menjelaskan lebih jauh, Tuan Poirot? Suatu keterangan—sedikit saja—dari Anda akan sangat berarti. Anda telah lebih dulu melibatkan diri dalam kasus ini, bukan? Terus terang saja, Scotland Yard tak ingin melakukan kekeliruan." Poirot mengangguk dengan muka suram. "Itulah yang saya pikirkan. Biarlah kalau begitu. Anda bisa menggunakan surat perintah itu untuk menanari Tuan Inglethorp. Dengan catatan—ta ada pujian. Kasus ini akan berhenti sampai di sini! Comme qaV* Dan dia menjentikkan jari-jarinya dengan ekspresif. Wajah Japp berubah suram walaupun Summer¬haye mendengus ragu. Saya sendiri serasa kelu karena heran. Saya hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa Poirot sudah gila. Japp mengeluarkan sapu tangannya dan mem¬bersihkan keringat yang tiba-tiba saja membasahi dahinya. "Saya tak berani melakukannya, Tuan Poirot. Saya percaya akan pendapat Anda. Tapi mereka yang di atas sayalah yang akan mempertanyakan hal itu. Apa Anda bisa menjelaskannya lebi jauh?" Poirot berpikir sejenak. "Bisa," akhirnya dia menjawab. "Terus terang, saya tidak menghendakinya. Saya merasa terpaksa. Saya lebih suka bekerja secara diam-diam seperti sekarang ini, tapi apa yang Anda katakan memang benar—kata-kata seorang polisi Belgia yang sudah pensiun—itu tidak cukup! Dan Alfred Inglethorp tidak boleh ditahan. Saya telah bersumpah untuk mempertahankan hal itu, kawanku Hastings ini tahu alasanku. Anda akan ke Styles, bukan? Nah, sampai ketemu lagi." "Setengah jam lagi. Kami akan menemui Pemeriksa dan dokter dulu." "Bagus. Singgahlah dulu ke tempat saya— rumah paling ujung di desa. Saya akan menemani Anda ke Styles. Di sana Tuan Inglethorp akan menjelaskan pada Anda. Tapi bila dia tidak mau melakukannya, sayalah nanti yang akan membe¬rikan bukti bahwa dia tidak bisa ditahan. Bagaimana?" "Baik," kata Japp dengan gembira. "Atas nama Scotland Yard saya mengucapkan terima kasih pada Anda, walaupun sampai saat ini saya belum bisa melihat kemungkinan untuk membebaskan Inglethorp dari tuduhan. Tapi Anda memang luar biasa! Sampai nanti, kalau begitu." Kedua detektif itu melangkah pergi. Summer-haye menyeringai ragu-ragu. "Apa pendapatmu, Kawan?" tanya Poirot sebelum saya sempat mengeluarkan suara. "Mon Dieu! Pemeriksaan tadi sangat menarik. Aku tak menyangka laki-laki itu begitu keras kepala dan tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Benar-benar politik orang dungu." "Hm. Ada hal-hal lain di balik kedunguannya," sela saya. "Seandainya tuduhan itu benar, bagaimana dia akan membela diri kecuali dengan menutup mulut rapat-rapat?" "Wah, ada banyak cara!" seru Poirot. "Misal¬nya saja aku adalah pembunuhnya. Aku bisa membuat tujuh cerita yang masuk akal! Yang lebih meyakinkan daripada kekebalan Tuan Ingle¬thorp!" Saya tak tahan untuk tidak tertawa. "Poirot, aku yakin bahwa kau malahan bisa membuat tujuh puluh cerita! Tapi, ini sungguu-sungguh Ibo, di samping apa yang telah kaukatakan pada kedua detektif itu, aku rasa kau pun tak percaya kalau Alfred Inglethorp itu tidak bersalah." "Mengapa tidak?' Kau sebelumnya percaya bahwa kemungkinan itu ada." "Tapi bukti-bukti itu begitu meyakinkan." "Ya, terlalu meyakinkan." Kami membelok, masuk gerbang Pondok Leastways, lalu menaiki tangga yang kini sudah semakin kukenal. "Ya—ya. Terlalu meyakinkan," lanjut Poirot seolah-olah berkata pada dirinya sendiri. "Padahal biasanya bukti-bukti asli itu yang samar dan tak terlalu meyakinkan. Harus diteliti dulu—disaring. Tapi ini yang kita hadapi begitu gamblang. Tidak, Kawan, bukti-bukti itu dibuat begitu bagus— terlalu bagus sehingga justru tak akan mencapai sasarannya." "Bagaimana jalan pikiranmu?" "Karena, bila bukti yang memberatkan dia samar dan meragukan, maka akan sulit untuk membantahnya. Tetapi pembunuh ini telah menarik jalanya begitu ketat sehingga satu robekan saja akan membuat Inglethorp bebas.". Saya diam. Satu-dua menit kemudian, Poirot melanjutkan. "Mari kita lihat kasus itu seperti ini. Laki-laki itu merencanakan meracun istrinya. Dia bukan orang bodoh. Nah, bagaimana dia merencanakannya? t* Dengan berani dia pergi ke toko obat dan membeli strychnine atas namanya sendiri dengan alasan yang dibuat-buat. Dia tidak langsung mengguna¬kan racun itu malam itu juga. Dia menunggu sampai ada pertengkaran hebat dengan istrinya yang diketahui oleh semua orang di rumah, sehingga mereka semua mencurigai dia. Dia tidak mempersiapkan pembelaan—tak ada alibi walau¬pun dia tahu bahwa pemilik toko obat itu mengenalinya. Bah! Aku tak bisa meyakinkan ada orang yang begitu bodoh! Hanya orang gila yang akan bunuh diri saja yang melakukan hal itu." "Tapi—aku kok tidak mengerti—" saya mulai. "Aku pun tidak mengerti. Dengar, mon ami, hal itu membingungkan aku. Aku—si Hercule Poirot!" "Tetapi kalau kau yakin dia tak bersalah, bagaimana dengan penjelasan dia membeli strych¬nine?" "Sederhana. Dia memang tidak membelinya." 'Tapi Mace mengenalinya!" "Ah, <lia kan hanya melihat seorang laki-laki berjenggot hitam seperti jenggot Tuan Inglethorp dan memakai kaca mata seperti kaca mata Tuan Inglethorp, dan memakai baju khas gaya Tuan Inglethorp berpakaian. Dia tidak bisa mengenali orang yang mungkin hanya dilihatnya dari jauh karena dia sendiri baru dua minggu tinggal di desa ini. Sedangkan Nyonya Inglethorp biasanya membeli obat di Coot, Tadminster." "Kalau begitu kau berpendapat—" "Mon ami> kau masih ingat dua hal yang kukatakan penting? Jangan pikirkan dulu yang pertama, perhatikan yang kedua." "Fakta penting bahwa Alfred Inglethorp memakai pakaian yang aneh dan khas, berjenggot hitam, dan berkaca mata," kata saya. "Tepat. Sekarang seandainya ada orang yang ingin menyaru seperti John dan Lawrence Cavendish, Apakah mudah?" 'Tidak," kata saya berpikir. "Tapi seorang aktor—" Poirot memotong dengan cepat. "Ya, mengapa sulit? Karena mereka berdua tidak berjenggot. Untuk menyaru dan berhasil— pada siang hari bolong—diperlukan bakat seorang aktor yang jenius dan yang memiliki persamaan ciri-ciri wajah. Tetapi dalam kasus Alfred Inglethorp, semuanya tidak demikian. Baju, jenggot, dan kaca mata yang menutupi matanya— merupakan hal-hal yang amat penting dari penampilannya. Sekarang, apakah insting pertama seorang pembunuh. Membelokkan kecurigaan dari dirinya, bukan? Dan bagaimana caranya agar dia bisa melakukannya dengan baik? Dengan melemparkannya pada orang lain. Dalam hal ini ada orang yang siap untuk dijadikan kambing hitam. Setiap orang yakin bahwa Tuan Inglethorp bersalah. Dialah yang akan dicurigai. Tapi untuk lebih meyakinkan lagi harus ada bukti yang tidak bisa dibantah—seperti pembelian racun. Dan menyamar sebagai Tuan Inglethorp tidaklah sulit. Tuan Mace belum pernah bicara dengan Tuan Inglethorp. Jadi dia akan percaya saja seandainya ada seseorang yang menyamar sebagai Tuan Inglethorp dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuan Inglethorp." "Mungkin juga demikian," kata saya terpukau uleh imajinasi Poirot. "Tapi kalau memang demikian, mengapa dia tidak mengatakan di mana dia berada pada hari Senin jam enam sore?" "Ah, mengapa ya?" kata Poirot lebih tenang. "Seandainya dia ditahan, mungkin dia akan mengaku, tapi aku tak menginginkan begitu. Aku harus membuat dia melihat posisinya sendiri. Tentu saja ada suatu hal yang tak terpuji di balik mulutnya yang terkunci rapat-rapat. Seandainya dia tidak membunuh istrinya, dia tetap seorang bajingan, dan ada hal yang disembunyikannya, yang tak ada hubungannya dengan pembunuhan itu." "Apa kira-kira?" gumam saya sambil seolah-olah mengakui keunggulan pendapat Poirot walaupun sebenarnya saya tidak yakin. 'Tak bisa menebak?" tanya Poirot, tersenyum. "Tidak. Kau?" "Oh, ya. Aku punya sebuah ide beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata benar." "Kau tak memberi tahu aku," kata saya sebal. Poirot mengangkat tangannya meminta maaf. "Maaf, mon ami. Karena kau dulu tidak sympathique dengan ide itu," tiba-tiba dia berpaling dan berkata dengan serius. "Kau mengerti sekarang mengapa dia tak perlu ditahan?" "Mungkin/* kata saya ragu-ragu. Saya memang tidak peduli akan nasib Alfred Inglethorp. Mungkin sebuah gertakan akan baik untuknya. Poirot yang memandang saya dengan sungguh-sungguh menjadi kecewa. Dia menarik napas dalam-dalam. "Kita bicara yang lain saja. Bagaimana penda-patmu tentang kesaksian dalam pemeriksaan tadi?" "Oh, seperti yang aku harapkan," "Tak ada yang aneh?" Pikiran saya langsung melayang pada Mary Cavendish, dan saya bertanya, "Dalam hal apa?" "Ya—misalnya saja kesaksian Tuan Lawrence Cavendish." Saya menjadi lega. "Oh, Lawrence! Tidak—aku rasa tak ada yang aneh. Dia memang mudah gugup." "Pendapatnya bahwa ibunya mungkin secara tak sengaja keracunan tonik yang diminumnya. Apa itu tak aneh—heinV "Aku rasa tidak. Memang dokter itu mener¬tawakan dia. Tapi pendapatnya adalah wajar— pendapat orang awam." "Tapi Lawrence bukan orang awam. Engkau sendiri yang mengatakan bahwa dia pernah sekolah kedokteran dan lulus." "Ya, benar. Tak terpikir olehku," saya terkejut. "Memang aneh." Poirot mengangguk. "Dari permulaan sikapnya sudah aneh. Dari semua orang di rumah itu, dialah yang seharusnya segera mengenali gejala-gejala keracunan strych¬nine. Tapi ternyata justru dia yang menolak pendapat itu, bahkan berkeras dengan penuh keyakinan bahwa ibunya meninggal secara wajar. Seandainya John yang mengatakan hal itu, aku bisa memakluminya. Dia tidak tahu apa-apa tentang kedokteran dan orangnya memang tak punya imajinasi. Tapi Lawrence—tidak! Dan hari ini, dia mengemukakan pendapat yang dia tahu tidak masuk akal. Ada vang harus dikorek di sini, mon ami V' "Memang membingungkan." "Lalu Nyonya Cavendish," lanjut Poirot. "Satu orang lagi vang tidak mau mengatakan apa yang dia ketahui! Apa pendapatmu tentang sikapnya?" "Aku tak tahu. Sikapnya yang seolah-olah melindungi Alfred Inglethorp memang sulit dimengerti." Poirot mengangguk sambil terus merenung. "Ya, aneh. Tapi ada satu hal yang sudah pasti. Dia mendengar sesuatu dalam percakapan pribadi itu. Dan dia tak mau mengatakan apa yang didengarnya." "Dan orang tak akan menuduh orang semacam dia mencuri dengar pembicaraan orang lain!" "Tepat. Kesaksiannya menunjukkan satu hal. Aku telah membuat kekeliruan. Dan Dorcas benar. Pertengkaran itu terjadi sore hari kira-kira jam empat, seperti yang dikatakannya." Saya memandang Poirot dengan rasa ingin tahu. Saya tidak mengerti mengapa dia selalu memper¬soalkan hal itu. "Dan ada satu hal lagi yang membuatku tidak mengerti," kata Poirot. "Apa yang dilakukan Dokter Bauerstein pagi-pagi buta seperti itu berada di luar? Tak seorang pun menanyakan hal itu." "Aku rasa dia menderita insomnia," jawab saya ragu-ragu. "Itu merupakan keterangan yang bagus dan sekaligus jelek," kata Poirot. "Hal itu mencakup segalanya tapi tak menjelaskan apa-apa. Aku akan lebih memperhatikan orang ini." "Ada lagi yang aneh dengan kesaksian tadi? tanya saya sinis. "Man ami" kata Poirot dengan serius. "Kalau kau tahu ada seseorang yang tidak menngatakan hal yang sebenarnya, hati-hatilah! Kalau aku tak keliru, dalam pemeriksaan tadi, paling banyak hanya dua orang yang mengatakan apa adanya tanpa menutup-nutupi suatu hai lain." "Ah, masa! Memang Lawrence dan Nyonya Cavendish tidak termasuk di situ. Tapi John—dan Nona Howard—tentunya mereka berkata jujur, kan?" "Keduanya? Satu, bolehlah. Tapi tidak dua—!" Kata-katanya mengejutkan saya. Walaupun tidak penting, kesaksian Nona Howard diberikan dengan sikap terus terang. Saya tak ragu-ragu lagi akan kejujurannya. Namun saya juga menghargai kecerdasan Poirot—kecuali pada waktu-waktu di mana dia kelihatan begitu keras kepala. "Kau berpendapat begitu?" tanya saya. "Keli¬hatannya Nona Howard selalu jujur— bahkan terlalu jujur." Poirot memandang saya dengan ekspresi aneh yang tidak bisa saya mengerti. Dia sepertinya akan bicara tapi tidak jadi. "Nona Murdock juga," saya melanjutkan. "Dia kelihatannya jujur." "Ya. Tapi aneh, dia tidak mendengar apa-apa walaupun kamarnya bersebelahan. Sedangkan Nyonya Cavendish yang kamarnya ada di sayap lain malah mendengar suara meja jatuh dengan jelas." "Ah, dia kan muda. Dan tidurnya nyenyak." "Memang. Pasti dia itu tukang tidur!" Saya tidak senang dengan nada suara Poirot. Tapi pada saat itu saya mendengar suara ketukan di pintu. Dari jendela kami melihat dua orang detektif sedang menunggu di depan. Poirot menyambar topinya, memelintir kumis¬nya dan dengan hati-hati menjentikkan debu yang tak kelihatan dari lengan bajunya. Kami turun dan bersama dengan kedua detektif itu menuju Styles. Saya rasa kedatangan kedua orang Scotland Yard itu merupakan suatu kejutan— terutama bagi John—walaupun dia sadar bahwa hal itu akan terjadi juga. Poirot berbicara dengan Japp dengan suara rendah dalam perjalanan, dan Japp minta agar seisi rumah, kecuali para pelayan, berkumpul di ruang keluarga. Saya menyadari betapa pentingnya hal ini. Kesuksesan rencana ini tergantung pada Poirot.Secara pribadi, saya tidak terlalu optimis. Poirot mungkin punya alasan-alasan yang amat bagus tentang ketidakberdosaannya Inglethorp. Tapi orang semacam Summerhaye pasti akan minta bukti-bukti. Dan saya meragukan kemampuan Poirot untuk menyediakannya. Tak lama kemudian kami berjalan masuk ke ruang keluarga. Japp menutup pintu. Dengan sopan Poirot menarik kursi untuk setiap orang. Kedua orang Scotland Yard itu menjadi pusat perhatian semua mata. Saya rasa untuk pertama kalinya kami menyadari bahwa kami tidak berhadapan dengan sebuah mimpi buruk melain¬kan suatu kenyataan yang tidak jelas. Kami pernah membaca hal-hal seperti itu—dan sekarang kami sendirilah yang menjadi aktor drama tersebut. Besok pagi, semua koran di seluruh Inggris akan terbit dengan pokok berita: 'TRAGEDI MISTERIUS DI ESSEX1 'WANITA KAYA MATI DIRACUN* Akan ada gambar rumah Styles, foto-foto 'Keluarga yang meninggalkan Pemeriksaan*—juru potret desa tidaklah bermalas-malasan! Semua hal yang pernah dibaca seratus kali—yang terjadi pada orang lain» kini dialami sendiri. Dan di rumah ini telah terjadi sebuah pembunuhan. Di depan kami duduk para detektif yang menangani kasus tersebut. Saya rasa semua orang akan heran karena Poirot-lah dan bukan orang Scotland Yard itu yang memulai. "Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan,'* kata Poirot sambil membungkukkan badan seperti seorang pembesar yang akan berceramah. "Saya meminta agar Anda semua berkumpul di sini dengan satu tujuan. Tujuan itu berkaitan dengan Tuan Alfred Inglethorp." Tanpa sadar semua orang memang telah menarik kursinya sedikit menjauhi Inglethorp. Inglethorp sendiri agak terkejut ketika Poirot menyebutkan namanya. "Tuan Inglethorp/' kata Poirot langsung kepadanya, "ada sebuah bayangan gelap di atas rumah ini. Bayangan pembunuhan," Inglethorp menggelengkan kepala dengan sedih. "Istriku yang malang," gumamnya. "Emily yang malang! Sangat mengerikan." "Saya rasa Anda tidak menyadari betapa mengerikannya hal itu—bagi Anda," kata Poirot langsung. Dan karena Inglethorp kelihatannya tidak mengerti, dia menambahkan, "Tuan Ingle¬thorp, Anda rsdang berdiri di tepi jurang yang berbahaya." Kedua orang detektif itu resah. Saya seojah-olah mendengar kalimat, "Apa-yang Anda katakan akan menjadi suatu kesaksian untuk memberatkan diri Anda"—keluar dari mulut Summerhaye. Poirot melanjutkan. "Anda mengerti, sekarang?" "Tidak. Apa yang Anda maksud?" "Maksud saya, Anda dicurigai sebagai pembu¬nuh istri Anda," kata Poirot tanpa basa-basi. Terdengar suara-suara terkejut dalam ruangan setelah Poirot memberi keterangan dengan polos. "Ya, ampun!" seru Inglethorp sambil berdiri. "Benar-benar tuduhan yang keji! Saya— meracun Emily?" "Saya rasa," kata Poirot sambil memandang tajam kepadanya, "Anda tidak menyadari kesaksi¬an Anda yang aneh itu di dalam pemeriksaan. Tuan Inglethorp, setelah mengetahui apa yang saya katakan tadi, apakah Anda tetap menolak untuk mengatakan di mana Anda berada pada jam enam sore hari Senin yang lalu?" Dengan mengeluh Alfred Inglethorp membe¬namkan diri lagi ke kursinya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Poirot mendekat dan berdiri di depannya, "Katakan!" teriaknya kejam. Dengan susah-payah Inglethorp membuka kedua tangannya. Lalu dengan perlahanlahan tapi pasti, dia menggelengkan kepalanya. "Anda tak mau mengatakannya?" "Tidak. Saya tak yakin ada orang yang begitu kejam menuduh saya seperti yang Anda katakan." Poirot mengangguk seperti orang yang yakin telah mengambil Keputusan, "SoitV katanya. "Kalau begitu sayalah yang akan berbicara untuk Anda." Alfred Inglethorp berdiri lagi. "Anda? Bagaimana mungkin? Anda tidak tahu—"Dia berhenti tiba-tiba. Poirot memalingkan badannya menghadap kami, "Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan! Saya berbicara! Dengarkanlah! Saya, Hercule Poirot, menegaskan bahwa laki-laki yang memasuki toko obat dan membeli strychnine pada jam enam sore hari Senin yang lalu bukanlah Tuan Inglethorp, karena pada jam enam sore hari yang sama Tuan Inglethorp sedang menemani Nyonya Raikes pulang ke rumahnya. Saya bisa memberikan tidak kurang dari lima orang saksi yang bisa disumpah untuk mengatakan bahwa mereka melihat Tuan Inglethorp bersama Nyonya Raikes pada jam enam atau jam enam lebih. Seperti Anda ketahui, tanah pertanian Abbey, rumah Nyonya Raikes, berjarak setidaknya dua setengah mil dari desa. Alibi ini tak perlu diragukan lagi!"
|
|