DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

DETECTIVE AND MAFIA

Mens Vincit Omnia
 
IndeksIndexGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Selamat datang di forum Detective and Mafia, silakan perkenalkan diri
di Perkenalan member baru agar resmi menjadi member Detective and Mafia
Selamat datang di DAM
Silakan baca petunjuk, peraturan dan tata cara bermain forum
Di sini sebelum melakukan aktivitas di forum

Share
 

 Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.10)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down 
PengirimMessage
Cherrémio Chii

Newbie
Newbie
Cherrémio Chii

Female
Age : 27
Reputation : 5
Jumlah posting : 265

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.10) Empty
PostSubyek: Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.10)   Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.10) I_icon_minitimeMon Mar 28, 2011 3:33 pm

10. PENAHANAN

SAYA menjadi kesal ketika mendapat jawaban bahwa Poirot tidak ada karena sedang
ke London.
Saya terdiam heran dan tidak mengerti. Apa yang dilakukan Poirot di London?
Apakah dia memang sudah merencanakannya sejak lama atau merupakan Keputusan
mendadak?
Saya berjalan ke Styles dengan hati panas. Karena tak ada Poirot, saya tak tahu lagi
apa yang harus saya lakukan. Apa dia telah memperkirakan penahanan ini
sebelumnya? Ataukah dia yang menyebabkan penahanan ini? Saya tak tahu. Tapi
sementara ini apa yang harus saya lakukan? Apakah sebaiknya saya memberitahukan
penahan¬an ini di Styles? Tapi pikiran tentang Mary Cavendish membuat saya raguragu.
Apa tidak akan mengejutkan dia? Untuk sesaat saya menyingkirkan kecurigaan
terhadap dirinya. Dia tak bisa dilibatkan. Tak ada tanda yang menunjuk ke arah itu.
Tentu saja penahanan Dr. Bauerstein tidak dapat disembunyikan terlalu lama. Koran
pagi pasti memuat berita itu. Tapi rasanya sulit bagi saya untuk mengatakannya.
Seandainya ada Poirot, saya pasti minta pendapatnya. Mengapa dia pergi ke London
begitu saja?
Rasa hormat saya pada Poirot semakin bertam¬bah-tambah. Saya tak akan mencurigai
dokter itu seandainya Poirot tidak menunjukkannya pada saya. Dia memang pandai.
Setelah berpikir sejenak» saya memutuskan untuk berbicara dengan John dan
menyerahkan padanya apakah dia mau mengumumkan hal itu atau tidak.
Dia bersiul ketika saya memberitahukan hal itu kepadanya.
"Ah! Kalau begitu kau benar. Aku tadinya tak percaya."
"Memang rasanya sulit dipercaya, tapi setelah dipikir-pikir, semuanya cocok.
Sekarang kita mau apa? Besok pagi berita itu pasti sudah ada di koran."
John berpikir.
"Tak apa," katanya. "Kita tak perlu berkata apa-apa sekarang. Tak ada gunanya.
Besok toh semua orang tahu."
Tapi saya menjadi heran, ketika membuka koran pagi, tak ada berita secuil pun
tentang penahanan itu. Memang ada berita tentang 'Kasus Peracunan di Styles', tapi
tidak menyinggung tentang penahanan kemarin. Saya rasa Japp sengaja
menyembunyikan berita itu. Hal itu agak menguatirkan karena ada kemungkinan akan
terjadi penahanan-penahanan berikutnya.
Setelah sarapan, saya memutuskan untuk pergi ke desa menemui Poirot. Tapi sebelum
berangkat sebuah wajah yang saya kenal muncul di jendela dan suaranya berkata,
"Bon jour> mon amil"
"Poirot," saya berseru lega dan menariknya masuk ke dalam ruangan. "Dengar. Aku
belum memberi tahu siapa-siapa kecuali John. Apa pendapatmu?"
"Hei. Aku tak tahu apa yang kaukatakan."
"Tentu saja penahanan Dokter Bauerstein," kata saya tak sabar.
"Kalau begitu dia ditahan?"
"Apa kau tidak tahu?"
"Sama sekali tidak." Dia berpikir sebentar, lalu menambahkan, 'Tapi hal itu tak terlalu
mengejut¬kan. Kita kan hanya empat mil dari pantai."
hu-
"Pantai?" saya bertanya bingung. "Apa hu¬bungannya?*'
Poirot mengangkat bahunya.
"Kan sudah jelas!"
"Aku tak mengerti. Apa hubungan antara pantai dengan pembunuhan Nyonya
Inglethorp?"*
"Tentu saja tidak ada," jawab Poirot dengan tersenyum. "Kita kan sedang bicara
tentang penahanan Dokter Bauerstein."
"Ya, dia kan ditahan karena pembunuhan Nyonya Inglethorp—"
"Apa?" teriak Poirot dengan heran. "Dokter Bauerstein ditahan karena pembunuhan
Nyonya Inglethorp?"
Ya.
"Tak mungkin! Itu lelucon yang tidak lucu! Siapa yang mengatakannya?"
"Sebenarnya tak ada yang mengatakannya," -saya mengaku. "Tapi dia ditahan."
"Oh ya, memang. Tapi karena spionase, mow ami."
"Spionase?" tanya saya menahan napas. "Benar."
"Bukan karena meracuni Nyonya Inglethorp?"
"Kecuali kalau si Japp sudah tidak waras," jawab Poirot tenang.
"Tapi—aku pikir kau berpendapat begitu."
Poirot memandang saya dengan heran campur kasihan.
Saya berkata pelan-pelan,
"Jadi Dokter Bauerstein adalah seorang mata-mata?"
Poirot mengangguk.
"Kau tak pernah mencurigainya?"
"Tak pernah terpikir olehku."
"Apa kau tidak curiga kalau seorang dokter terkenal dari London mengubur diri di
sebuah desa kecil seperti ini? Dan punya kebiasaan jalan malam-malam dengan
pakaian lengkap?"
"Tidak," saya mengakui. "Tak pernah."
"Tentu saja dia orang Jerman. Memang dia telah lama di sini sehingga orang
menganggapnya sebagai orang Inggris. Dia menjadi warga negara Inggris lima belas
tahun yang lalu. Seorang jenius—tentu saja. Dia Yahudi."
"Bajingan!" seru saya.
"Sama sekali bukan. Sebaliknya, dia adalah patriot. Coba pikirkan apa yang dia
relakan untuk dikorbankan. Aku mengaguminya."
Tapi saya tidak bisa melihat hal itu dari sudut pandang Poirot.
"Dan dengan laki-laki itulah Nyonya Cavendish berkeliling ke mana-mana!" seru saya
kesal.
"Ya. Aku rasa Bauerstein memanfaatkan hal itu," kata Poirot. "Sepanjang orang sibuk
menggosipkannya dengan Nyonya Cavendish, kelakuan-kelakuannya yang aneh tak
akan diper¬hatikan orang."
"Kalau begitu kau menganggap dia sebenarnya tidak serius dengan Nyonya
Cavendish?" tanya saya bersemangat.
"Wah, aku tak tahu hal itu. Tapi—aku punya pendapat pribadi, Hastings." "Ya."
"Begini, Nyonya Cavendish sama sekali tidak peduli pada Dokter Bauerstein!"
"Benarkah?" Saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan saya.
"Aku yakiji hal itu. Aku beritahu kau sebabnya." "Apa?"
"Karena dia mencintai orang lain, mon ami.** "Oh!" Apa maksudnya? Saya
merasakan suatu kehangatan menjalar di dalam tubuh saya. Saya bukanlah seorang
laki-laki yang kurang menarik,
dan saya teringat beberapa hai yang meskipun samar-samar tapi cukup memberi
arti—
Kegembiraan saya terganggu oleh kedatangan Nona Howard. Dia melihat sekeliling
untuk memastikan bahwa tak ada orang lain di situ. Dengan cepat dia mengeluarkan
selembar kertas berwarna coklat yang diberikannya pada Poirot sambil bergumam,
"Di atas lemari baju." Lalu dengan cepat dia meninggalkan kami.
Poirot membuka lembaran kertas itu dengan tidak sabar dan berseru puas.
Diletakkannya kertas itu di atas meja.
"Coba lihat, Hastings. Ini J. atau L.?"
Kertas itu berukuran sedang dan agak berdebu, seperti sudah lama. Tapi yang menarik
Poirot adalah labelnya. Di bagian atas ada nama Messrs. Parkson, pemilik kostum
teater yang sangat terkenal dan ditujukan kepada "—Cavendish, Esq.,-Styles Court,
Styles St. Mary, Essex."
"Ini bisa T. dan bisa L.," jawab saya setelah memperhatikannya. "Tapi jelas bukan J."
"Bagus," jawab Poirot sambil melipat kertas itu lagi. "Aku juga berpendapat sama.
Bisa L."
"Dari mana kertas itu?" tanya saya ingin tahu. "Apakah penting?"
"Tidak terlalu, tapi cukup penting untuk memperkuat dugaanku. Aku meminta Nona
Howard untuk mencarinya setelah menarik sebuah deduksi dan dia ternyata berhasil."
"Apa maksudnya dengan 'di atas lemari baju'?"
"Dia menemukannya di atas lemari baju," kata Poirot cepat.
"Tempat yang aneh untuk selembar kertas coklat," gumam saya.
"Aku rasa tidak. Bagian atas lemari baju merupakan tempat yang baik untuk kertas
coklat dan dos karton. Aku sendiri menyimpan barang-barang semacam itu di tempat
yang sama. Kalau sudah teratur rapi, tak akan menyulitkan mata."
"Poirot," saya berkata dengan serius, "sudah punya putusan tentang tragedi ini?"
"Ya—maksudku, aku tahu bagaimana peracun¬an itu dilakukan."
"Ah!"
"Sayang aku tak punya bukti untuk dugaan-dugaanku, kecuali!" Tiba-tiba dia
mencengkeram lengan saya dan membawa saya turun tangga sambil berceloteh dalam
bahasa Prancis, "Made¬moiselle Dorcas, Mademoiselle Dorcas, un mo¬ment, s'il
vous plaitY*
Dorcas yang mendengar suara-suara bising itu cepat-cepat keluar dari dapur.
"Dorcas, aku memerlukan sesuatu yang mung¬kin bisa dijadikan bukti! Apakah pada
hari Senin, ingat bukan Selasa tapi Senin sebelum hari naas itu—apakah pada hari itu
bel Nyonya Inglethorp rusak?"
Dorcas kelihatan heran.
"Ya. Benar, Tuan, memang benar. Heran. Bagaimana Tuan bisa tahu? Ada tikus atau
binatang lain yang menggigit kabel bel. Tapi hari
Selasa pagi ada tukang datang dan membetul¬kannya."
Dengan seruan gembira Poirot menggandeng saya kembali ke ruang lagi.
"Lihat. Kita tidak 4iarus selalu mencari bukti dari luar. Logika yang baik sudah
cukup. Ah, Kawan, aku merasa gembira dan penuh semangat! Aku ingin berlari dan
meloncat!"
Memang dia benar-benar berlari dan meloncat ke kebun melalui jendela yang
panjang.
"Ada apa dengan teman kecil Anda itu?" tanya sebuah suara di belakang saya.
Ternyata Mary Cavendish. Dia tersenyum dan saya membalasnya. "Ada apa sih?"
"Saya sendiri tak tahu. Dia bertanya kepada Dorcas tentang bel. Dan jawaban Dorcas
mem¬buatnya gembira sehingga dia berlari-lari macam kuda lumping."
Mary tertawa.
"Lucu sekali! Dia keluar gerbang. Kembali lagi tidak?"
"Saya tak tahu. Saya tak ingin lagi menebak nebak apa yang akan dilakukannya
kemudian."
"Apa dia sinting, Tuan Hastings?"
"Saya benar-benar tidak tahu. Kadang-kadang dia memang seperti orang sinting. Tapi
dalam keadaannya yang paling gila sekak pun dia punya suatu cara."
"Hm."
Walaupun tertawa, Mary kelihatan menyimpan persoalan. Wajahnya kelihatan sedih.
Saya jadi teringat pada persoalan Cynthia. Barangkali ada baiknya kalau saya
membicarakan hal itu dengannya. Tapi" sebelum saya membawa persoalan itu lebih
jauh, dia menyetop saya dengan berkata,
"Saya yakin bahwa Anda adalah seorang pengacara yang hebat, Tuan Hastings, tapi
dalam hal ini kemampuan Anda tak ada gunanya. Cynthia tak akan berani
menghadapi kekejaman saya."
Ucapan saya menjadi kacau. Mudah-mudahan dia tidak berkata bahwa—. Sekali lagi
kata-kata yang diucapkannya membuat saya semakin lupa pada Cynthia dan
kesulitannya.
"Tuan Hastings, Anda mengira bahwa saya dan suami saya bahagia?"
Saya sangat terkejut dan bergumam bahwa sebetulnya hal itu bukan urusan saya.
"Baiklah," katanya tenang. "Baik ku urusan Anda atau bukan, saya ingin mengatakan
bahwa saya tidak bahagia."
Saya diam saja karena saya melihat dia belum selesai bicara.
Dia berjalan perlahan-lahan, mondar-mandir dalam ruangan. Kepalanya agak
tertunduk dan tubuhnya yang semampai bergerak dengan luwes. Tiba-tiba dia
berhenti dan memandang saya.
"Anda tak tahu apa-apa tentang saya, bukan?" tanyanya. "Dari mana dan siapa saya
sebelum menikah dengan John? Baik, akan saya jelaskan. Saya akan menganggap
Anda pastor penerima pengakuan dosa. Saya rasa Anda baik—*ya, saya yakin Anda
baik."
Anehnya, saya tidak terlalu bergairah lagi. Saya ingat bahwa Cynthia pun
menunjukkan rasa percayanya dengan cara yang sama. Dan lagi, seorang pastor
penerima pengakuan dosa seharus¬nya seorang tua, bukan orang muda seperti saya.
"Ayah saya orang Inggris," kata Nyonya Cavendish, "tapi ibu saya Rusia."
"Ah, pantas—"
"Apanya yang pantas?"
"Ada sesuatu yang asing—lain—pada Anda."
"Ibu saya sangat cantik, saya rasa. Saya tak tahu karena belum pernah melihatnya. Dia
meninggal ketika saya masih kecil sekali. Saya rasa kematiannya merupakan suatu
tragedi—dia salah minum obat tidur—dengan dosis berlebihan. Pokoknya ayah saya
patah hati. Setelah kejadian itu, Ayah bekerja di konsulat dan saya ikut ke mana pun
dia pergi. Ketika saya berumur dua puluh tiga, saya telah menjelajahi hampir seluruh
dunia. Kehidupan yang menyenangkan—saya benar-benar menikmatinya."
Bibirnya tersenyum, wajahnya cerah. Dia kelihatan sedang mengenangkan hari-hari
indah yang pernah dilaluinya.
"Kemudian Ayah meninggal. Saya tak punya apa-apa. Saya harus tinggal dengan
beberapa bibi di Yorkshire." Badannya gemetar. "Anda pasti bisa mengerti betapa
tersiksa rasanya hidup di sana setelah saya terbiasa dengan kehidupan yang sama
sekali lain dengan Ayah. Lingkungan yang terbatas, dan cara hidup yang sangat rutin
hampir membuat saya gila." Dia diam sesaat, dan kemudian meneruskan dengan suara
yang lain, "Kemudian saya bertemu dengan John Caven¬dish." 'Terus?"
"Dalam pandangan bibi-bibi saya, pertemuan saya dengan John merupakan hal yang
mengun¬tungkan. Mereka menganggap saya akan bahagia. Sebenarnya bukan hal ini
yang memberatkan perasaan saya. Bukan, John hanyalah pelarian dari kehidupan
sehari-hari yang monoton itu."
Saya hanya diam. Setelah itu dia melanjutkan,
"Jangan salah mengerti. Saya cukup jujur. Saya mengatakan hal itu dengan terus
terang. Saya sangat menyukai John dan saya berharap»—lama-lama—bisa lebih dari
sekadar menyukainya saja, tapi saya tidak merasa jatuh cinta padanya. Dia
mengatakan bahwa hal itu sudah cukup baginya. Jadi—kami pun menikah."
Dia diam cukup lama. Dahinya berkerut. Kelihatannya dia merenung, mengenang
kembali hari-hari ya..g telah lewat.
"Saya rasa—saya yakin—mula-mula dia men¬cintai saya. Tapi mungkin kami kurang
serasi. Sekarang saya merasa bahwa kami semakin jauh. Dia—ini suatu hal yang tidak
menyenangkan saya, tapi merupakan kenyataan—dia menjadi begitu cepat bosan
dengan saya." Saya tidak sadar dengan apa yang saya gumamkan. Dengan cepat dia
berkata, "Oh ya, benar!* Tapi sudahlah. Tak apa-apa. Memang tak lama lagi kami
akan berpisah."
"Apa maksud Anda?"
Dia menjawab dengan tenang,
"Saya tak akan tinggal di Styles."
"Anda dan John tak akan tinggal di sini?"
"Barangkali John akan tinggal di sini. Saya tidak."
"Anda akan meninggalkan dia?" "Ya."
"Mengapa?"
Dia diam. Tapi akhirnya berkata,
"Barangkali—karena saya ingin—bebas!"
Saya jadi membayangkan dunia yang luas, hutan rimba yang masih asli, daerah yang
belum terjamah manusia—dan suatu realisasi kebebasan bagi seseorang seperti Mary
Cavendish. Saya melihat¬nya' sebagai seorang makhluk yang angkuh, tak terjinakkan
oleh peradaban, bagaikan seekor burung liar. Tiba-tiba dia berseru,
"Anda tidak tahu—tidak tahu—betapa tempat ini seperti penjara rasanya!"
"Saya mengerti," kata saya, "tapi jangan tergesa-gesa."
"Oh, tergesa-gesa!" suaranya mengejek.
Tiba-tiba saja saya mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya katakan,
"Anda tahu bahwa Dokter Bauerstein ditahan ?"
Wajahnya mendadak berubah jadi dingin tanpa ekspresi.
"John cukup baik memberi tahu saya tentang hal itu.
"Bagaimana pendapat Anda?" tanya saya takut-takut. "Tentang apa?" "Penahanan
itu."
"Apa yang harus saya pikir? Dia adalah seorang mata-mata Jerman—kata tukang
kebun pada John."
Wajah dan suaranya dingin tanpa ekspresi. Apa dia memang tidak peduli?
Dia berjalan satu-dua tangkah. Kemudian tangannya memegang salah satu jambangan
bunga.
"Bunga ini sudah layu. Saya harus mengganti¬nya. Maaf, Tuan Hastings, terima
kasih," Dia berjalan melewati saya, keluar, dengan anggukan dingin.
Pasti dia tidak peduli pada Bauerstein. Seorang wanita tak akan bisa bersikap
sedemikian dingin bila dia mempunyai perasaan khusus pada seorang laki-laki.
Poirot tidak muncul keesokan paginya. Juga para petugas Scotland Yard.
Tapi pada waktu makan siang kami mendapat¬kan sebuah bukti. Selama ini kami
berusaha mencari tahu kepada siapa Nyonya Inglethorp mengirim suratnya yang
keempat. Usaha kami sia-sia sehingga kami tidak lagi memikirkannya. Ternyata hari
itu datang sebuah surat dari penerbit musik Prancis yang menyatakan menerima cek
Nyonya Inglethorp dan meminta maaf karena tidak dapat mencarikan lagu-lagu rakyat
Rusia yang diminta. Jadi harapan terakhir untuk memecahkan misteri melalui suratsurat
Nyonya Inglethorp, terpaksa dilupakan saja.
Sebelum waktu minum teh, saya berjalan-jalan ke tempat Poirot untuk menceritakan
hal tersebut. Tetapi saya bertambah kecewa karena dia tak ada di tempat.
"Ke London lagi?"
"Oh, tidak, Tuan. Dia naik kereta ke Tadminster. TJntuk melihat ruang obat,'
katanya."
'Tolol!" seru saya. "Sudah diberi tahu kalau hari Rabu Cynthia tidak ada! Tolong
beritahu dia supaya menemui saya besok pagi."
"Baik, Tuan."
Tapi besok paginya, Poirot tidak kelihatan. Saya menjadi marah. Dia benar-benar
keterlaluan. Seenaknya sendiri.
Setelah makan siang, Lawrence mengajak saya bicara. Dia bertanya apakah saya akan
menemui Poirot.
"Saya rasa tidak. Dia bisa datang kalau mau menemui kita."
"Oh!" Lawrence kelihatan ragu-ragu. Saya menjadi curiga karena dia kelihatan
gelisah dan tidak seperti biasa.
"Ada apa?" tanya saya. "Aku bisa pergi menemuinya kalau perlu."
'Tidak terlalu penting, tapi—kalau kau bertemu dengan dia katakan bahwa—" dia
berbisik—
"rasanya aku telah menemukan cangkir kopi ekstra, itu!"
Saya telah lupa pesan Poirot yang misterius itu, tapi kini rasa ingin tahu saya muncul
kembali.
Karena Lawrence tak mengatakan apa-apa lagi, saya terpaksa tururi dari tahta
keangkuhan saya. Sekali lagi saya berjalan menuju Pondok Least¬ways.
Kali ini saya disambut dengan senyuman. Tuan Poirot ada di dalam. Saya pun naik.
Poirot sedang duduk di kursi dengan kepala terbenam pada kedua tangannya. Dia
berdiri begitu melihat saya masuk.
"Ada apa?" tanya saya cemas. "Kau tidak sakit, kan?"
"Tidak, jangan cemas. Aku sedang membuat keputusan penting."
"Untuk menangkap pembunuh atau tidak71" kata saya bercanda. Tapi Poirot
mengangguk serius. "Benar—itulah persoalannya." Saya diam saja. "Kau serius,
Poirot?"
"Aku serius sekali. Karena yang akan kulakukan amat besar pengaruhnya." "Terhadap
apa?"
"Kebahagiaan seorang wanita, mon ami" katanya dengan suara sedih.
Saya tak tahu harus berkata apa. "Waktunya sudah tiba," kata Poirot. "Tapi aku tak
tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang akan kulakukan ini penuh risiko. Tak
seorang pun kecuali saya—Hercule Poirot, akan bisa melaku¬kannya!" Dan dia
menepuk dadanya dengan bangga.
Kami diam sejenak. Aku tak jngin merusak rasa bangganya. Setelah itu saya
menyampaikan pesan Lawrence.
"Aha! jadi dia telah menemukan cangkir kopi ekstra itu. Bagus. Ternyata dia seorang
yang cukup cerdas!"
Saya sendiri tidak menganggap bahwa Lawrence cukup cerdas, tapi saya tak mau
mengeluarkan pendapat yang berlawanan dengan Poirot. Saya mengalihkan
pembicaraan dan mengatakan pada Poirot bahwa saya sudah memberi tahu tentang
hari libur Cynthia.
"Ya—benar. Aku memang pelupa. Tapi teman Nona Cynthia sangat baik. Dia merasa
kasihan melihatku kecewa. Karena itu dia menunjukkan ruang obatnya."
"Kalau begitu kau harus mengajak Cynthia minum teh—kapan-kapan."
Saya menceritakan surat Nyonya Inglethorp.
"Sayang. Aku berharap bahwa surat itu bisa menjadi kunci yang akan membuka
tragedi ini. Kelihatannya kita harus melihat kembali semuanya dari dalam," Poirot
berkata sambil memukul dahinya. "Semua tergantung pada sel-sel kelabu kita." Lalu
dia menambahkan, "Apa kau mengerti tentang sidik jari?"
"Tidak. Aku tahu bahwa tak ada sidik jari yang sama. Itu saja yang kuketahui."
"Benar."
Dia membuka sebuah laci kecil, mengambil beberapa foto dan diletakkannya di meja.
"Telah kuberi nomor. Satu, dua, tiga. Coba jelaskan."
Saya memperhatikan foto itu.
"Semua sudah diperbesar. Nomor satu adalah sidik jari seorang laki-laki; ibu jari dan
jari telunjuk. Nomor dua adalah sidik jari seorang wanita; lebih kecil dan berbeda.
Nomor tiga— "Saya berpikir sambil memperhatikan baik-baik— "kelihatannya
campur aduk. Tapi yang ini jelas sama dengan yang nomor satu."
'Tumpang tindih?"
"Ya."
"Kau yakin?"
"Oh, ya, yang dua ini identik."
Poirot mengangguk. Dengan hati-hati dipe¬gangnya foto itu, dimasukkannya ke
dalam laci, dan dikuncinya laci itu.
"Kau pasti tak akan memberi tahu aku tentang sidik jari itu, kan?"
"Sebaliknya. Nomor satu adalah sidik jari Tuan Lawrence. Nomor dua milik Nona
Cynthia. Keduanya tidak penting. Aku hanya mengambil untuk perbandingan. Nomor
tiga agak sulit."
"Ya."
"Masih kabur walaupun sudah diperbesar. Aku tak akan menjelaskan tentang teknik
dan peralatan yang dipakai untuk memperbesar. Polisi biasanya mengenal proses itu.
Sekarang tentang benda yang ada sidik jarinya."
"Teruskan—kedengarannya sangat menarik."
"Eh bien\ Foto nomor tiga merupakan foto botol kecil yang sudah diperbesar. Botol
itu dari lemari atas ruang obat Nona Cynthia. Botol racuni"
"Ya, Tuhan!" seru saya. "Tapi apa yang dilakukan Lawrence Cavendish? Dia tidak
mende¬kati lemari racun itu ketika kami mampir ke sana."
"Kau keliru."
"Tak mungkin. Kami selalu bersama."
"Ada suatu saat ketika kau tidak bersama dia. Kalau tidak, pasti kalian tak perlu
memanggil Tuan Lawrence ke balkon."
"Ya, aku lupa itu," kata saya mengaku. "Tapi itu hanya sebentar."
"Cukup lama."
"Cukup lama untuk apa?"
Senyum Poirot menjadi misterius.
"Cukup lama bagi seseorang yang pernah belajar kedokteran untuk memuaskan rasa
ingin tahunya."
Mata kami saling berpandangan. Poirot kelihat¬an ragu-ragu. Akhirnya dia berdiri
sambil bersenandung kecil. Saya memandang dengan rasa curiga.
"Poirot, apa sebenarnya yang ada dalam botol itu?"
Poirot memandang ke luar jendela.
"Hydro-chloride strychnine," katanya sambil lalu, sambil terus bersenandung.
"Ya, Tuhan," kata saya pelan. Saya tidak heran karena telah memperkirakan jawaban
itu. , "Mereka memakai hydro-chloride strychnine murni sedikit sekali—hanya untuk
pil. Yang sering dipakai adalah yang berbentuk cair. Karena itu sidik jari ku tak
terhapus."
"Bagaimanakau bisa memperoleh sidik jari ini?"
"Aku melemparkan topiku dari balkon," kata Poirot. "Tamu tidak diperbolehkan
masuk di bagian bawah pada jam tersebut, jadi teman Nona Cynthia terpaksa turun
mengambil topiku."
"Kalau begitu kau memang tahu bahwa akan mendapatkan sidik jari ini?"
"Tidak. Aku hanya melihat kemungkinan bahwa Tuan Lawrence bisa mengambil
racun setelah mendengar ceritamu. Kemungkinan itu harus dikuatkan atau dianggap
tidak ada."
"Poirot, aku menganggap penemuan ini sangat penting."
"Aku tak tahu," kata Poirot. "Tapi ada satu hal yang menarik. Dan aku rasa juga
menarik bagimu."
"Apa itu?"
"Ya—dalam kasus ini ternyata kita menemukan terlalu banyak strychnine. Ini adalah
yang ketiga. Yang pertama dalam tonik Nyonya Inglethorp. Lalu yang dijual di rumah
obat oleh Mace. Dan sekarang yang ini. Terlalu membingungkan. Dan aku tidak suka
hal-hal yang membingungkan."
Sebelum saya menjawab,* salah seorang Belgia yang tinggal di situ menjengukkan
kepalanya dari pintu.
"Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Tuan Hastings." "Wanita?"
Saya meloncat, Poirot mengikuti saya. Ternyata Mary Cavendish berdiri di depan
pintu.
"Saya baru saja menengok seorang wanita tua di desa," katanya. "Karena Lawrence
mengatakan bahwa Anda sedang bertamu ke tempat Tuan Potrot, saya lalu mampir
kemari sebentar."
"Saya kira Anda mau berkunjung ke tempat saya," kata Poirot.
"Lain kali," katanya sambil tersenyum.
"Baiklah. Seandainya Nyonya memerlukan seorang pastor penerima pengakuan
dosa," —Mary Cavendish kelihatan sedikit kaget— "ingat, ada Pastor Poirot."
Dia memandang Poirot beberapa menit, seolah-olah ingin tahu apa sebenarnya
maksud kata-kata Poirot. Kemudian dia berbalik.
"Mari, Tuan Poirot, Anda bisa ikut kami ke Styles."
"Dengan senang hati, Nyonya." Sepanjang jalan ke Styles, Mary bicara banyak dan
cepat. Kelihatannya dia takut pada pandangan mata Poirot.
Cuaca sudah berubah. Musim gugur sudah di ambang pintu. Angin bertiup kencang
dan dingin.
Kembali Ke Atas Go down
http://b1t4-daniyaputri.blogspot.com/
 

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.10)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

 Similar topics

-
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.1)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.2)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.3)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.4)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5)

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
DETECTIVE AND MAFIA :: DAM Office :: Library :: Story of Detective-