DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

DETECTIVE AND MAFIA

Mens Vincit Omnia
 
IndeksIndexGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Selamat datang di forum Detective and Mafia, silakan perkenalkan diri
di Perkenalan member baru agar resmi menjadi member Detective and Mafia
Selamat datang di DAM
Silakan baca petunjuk, peraturan dan tata cara bermain forum
Di sini sebelum melakukan aktivitas di forum

Share
 

 Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down 
PengirimMessage
Cherrémio Chii

Newbie
Newbie
Cherrémio Chii

Female
Age : 28
Reputation : 5
Jumlah posting : 265

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5) Empty
PostSubyek: Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5)   Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5) I_icon_minitimeMon Mar 28, 2011 3:21 pm

5. "BUKAN STRYCHNINE, KAN?"

"PARI MANA ini?" tanya saya pada Poirot, ingin tahu.
"Dari keranjang sampah. Kau kenal tulisan tangan ini?"
"Ya. Tulisan Nyonya Inglethorp. Tapi apa artinya?"
Poirot mengangkat bahu.
"Aku tak tahu—tapi agak mencurigakan."
Sebuah kekuatiran hinggap di benak saya. Mungkinkah Nyonya Inglethorp sakit jiwa?
Atau dikuasai roh jahat? Kalau demikian, bukankah ada kemungkinan bahwa dia
sendirilah yang meng¬akhiri hidupnya?
Pendapat itu baru saja akan saya beri tahukan pada Poirot ketika dia berkata,
"Ayo kita periksa cangkir-cangkir kopi itu!"
"Poirot, apa gunanya kita melakukan hal itu? Kita kan sudah menemukan coklat itu?"
"Oh, la la. Coklat itu!" seru Poirot dengan santai.
Dia tertawa geli sambil mengangkat tangan ke atas seolah-olah mengejek saya. Huh,
seleranya rendah sekali.
"Dan lagi," kata saya dengan nada dingin, "kan Nyonya Inglethorp sendiri yang
membawa kopinya ke atas, rasanya tak ada lagi vang bisa kita temukan, kecuali kalau
kau menganggap ada kemungkinan besar kita menemukan sebungkus strychnine di
atas nampan!"
Poirot seketika jadi tenang.
"Baiklah, Kawan," katanvasambil menyelipkan tangannya di lengan saya. "Ne vous
fdcbez pas! Biarlah aku memeriksa cangkir kopi itu. Kau boleh meneruskan ide
coklatmu itu, setuju?"
Dia bicara begitu lucu sehingga saya terpaksa tertawa. Kami ke ruang keluarga
bersama-sama, cangkir-cangkir kopi dan nampannya masih tetap tak berubah, seperti
waktu kami tinggalkan.
Poirot meminta saya menceritakan kembali kejadian kemarin malam. Dia
mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memperjelas letak masing-masing
cangkir.
"Jadi Nyonya Cavendish berdiri di dekat nampan—dan menuang kopi. Ya. Kemudian
dia berjalan ke jendela ke dekat tempatmu duduk dengan Cynthia. Ya. Ini ada tiga
cangkir. Dan ada cangkir yang di atas perapian, yang isinya tinggal separuh. Tentunya
ini kopi Tuan Lawrence Cavendish. Dan satu cangkir yang ada di nampan?"
"Cangkir John Cavendish. Aku melihatnya meletakkan cangkir itu di situ."
"Bagus. Satu, dua, tiga, empat, lima—lho, mana cangkir kopi Tuan Inglethorp>"
"Dia tidak minum kopi."
"Kalau begitu semua sudah terhitung. Sebentar, Kawan."
Dengan sangat hati-hati dia mengambil contoh kopi dari setiap cangkir dan
dimasukkannya ke dalam tabung-tabung kecil setelah dicicipinya. Wajahnya berubah,
kelihatan setengah heran setengah lega.
"Bien!" akhirnya dia berkata. "Sudah terbukti! Ideku ternvata keliru. Ya, aku
membuat kekeliru-an. Tapi aneh. Tak apalah!"
Sambil mengangkat bahu dengan gayanya yang khas dia membicarakan hal-hal yang
membuatnya kuatir. Saya sebenarnya ingin mengatakan kepada¬nya bahwa persoalan
kopi itu tak akan membawa¬nya ke mana-mana, tapi saya berusaha menahan diri.
Walaupun kini sudah tua, dulu Poirot adalah seorang detektif ulung.
"Sarapan sudah siap," kata John Cavendish sambil berjalan masuk. "Anda bersedia
makan bersama kami, Tuan Poirot?"
Poirot setuju. Saya memperhatikan John. Kelihatannya dia telah kembali seperti biasa.
Kejutan kemarin malam hanya membuatnya bingung sebentar. Sekarang dia telah
normal kembali. John memang seorang lelaki yang hanya memiliki sedikit imajinasi.
Sangat berbeda dengan Lawrence! yang mungkin justru punya terlalu banyak.
Sejak pagi John telah sibuk. Mengirim tele¬gram-—salah satu di antaranya untuk
Evelyn Howard—menulis pemberitahuan di koran, dan menyiapkan segala sesuatu
lainnya yang biasa dilakukan kalau ada kematian.
"Apa boleh saya tanya bagaimana hasil penyelidikan Anda?" katanya. "Apa
penyelidikan itu mengarah pada kesimpulan bahwa ibu saya meninggal secara
wajar—atau—atau—apa sebaik¬nya kita bersiap dengan hal yang paling buruk?"
"Tuan Cavendish," kata Poirot dengan nada suara yang hati-hati, "saya rasa sebaiknya
Anda tidak menenggelamkan diri dalam buaian harapan palsu. Apa Anda bisa
menceritakan pada saya tentang pendapat para anggota keluarga yang lain?"
"Adik saya Lawrence sangat yakin bahwa kita ini hanya mengada-ada. Dia
mengatakan bahwa yang dialami Ibu adalah kasus serangan jantung yang sederhana
saja."
"Ah, begitukah ? Sangat menarik—sangat mena¬rik," gumam Poirot lembut. "Dan
Nyonya Cavendish?"
Wajah John menjadi suram.
"Saya sama sekali tidak tahu apa pendapat istri saya tentang hal ini."
Dia menjawab dengan suara kaku. Tapi kemudian berusaha untuk tidak terdengar
kaku dengan membelokkan pembicaraan,
"Saya telah memberitahukan bahwa Tuan Inglethorp telah kembali, bukan?"
Poirot menganggukkan kepalanya.
"Kami semua jadi serba salah. Tentu saja kami harus memperlakukan dia seperti
biasa—tapi, Anda mengerti bukan, bagaimana rasanya harus duduk dan makan
bersama orang yang mungkin adalah seorang pembunuh!"
Poirot mengangguk penuh pengertian.
"Saya mengerti. Memang merupakan posisi yang menyulitkan bagi Anda, Tuan
Cavendish. Saya ingin menanyakan satu hal. Alasan Tuan Inglethorp tidak pulang
kemarin malam adalah karena kuncinya ketinggalan, bukan?"
"Ya."
"Anda yakin bahwa kunci itu memang keting¬galan? Bahwa memang dia sengaja
tidak mem¬bawanya?"
"Saya tak tahu. Saya tak pernah mencek. Kami selalu menyimpannya di laci ruang
depan. Akan saya lihat kalau begitu apa kunci itu ada di situ."
Poirot mengacungkan tangannya sambil terse¬nyum.
"Tak perlu, Tuan Cavendish. Sudah terlambat sekarang. Saya yakin bahwa Anda pasti
akan melihat kunci itu di situ. Seandainya Tuan Inglethorp membawa kunci itu, dia
punya banyak waktu untuk mengembalikannya.
"Tapi, apakah Anda pikir—"
"Saya tidak memikirkan apa-apa. Seandainya ada yang melihat laci itu pagi tadi
sebelum dia kembali, dan kunci itu ada di sana, maka itu akan sangat menguatkan
alasan Tuan Inglethorp. Itu saja.
John kelihatan bingung.
"Jangan kuatir," kata Poirot lembut. "Jangan dipikirkan lagi. Karena Anda sudah
begitu baik, kita mulai saja sarapan pagi."
Semua berkumpul di ruang makan. Tentu saja tak seorang pun berwajah gembira.
Reaksi setelah adanya suatu kejutan memang kelihatan. Dan kami semua
merasakannya. Tapi saya tak yakin apakah penguasaan diri yang menyebabkan tak
seorang pun dari kami yang bermata merah atau bermuka sedih. Yang saya ketahui,
Dorcas-lah satu-satunya orang yang merasakan tragedi ini secara pribadi.
Saya perhatikan Alfred Inglethorp yang sedang memainkan peranan seorang suami
yang ditinggal mati istrinya. Sikapnya yang munafik itu sangat menyebalkan. Saya
tak tahu apakah dia merasa bahwa kami mencurigainya. Tentunya dia bisa melihatnya
dengan jelas. Apakah dia merasakan suatu ketakutan? Atau justru merasa yakin
bahwa n perbuatan jahatnya akan berlalu dengan aman tanpa hukuman? Tentunya
suasana di sekitarnya cukup memberi tanda bahwa dirinya merupakan orang yang
dicurigai.
Tapi apakah setiap orang mencurigainya? Bagaimana dengan Nyonya Cavendish? Dia
duduk di ujung meja dengan sikap yang luwes, anggun, dan misterius. Dengan gaun
abu-abu berhias renda putih di ujung tangannya yang ramping itu, dia kelihatan sangat
cantik. Tetapi dia juga bisa bersikap seperti sphinx yang misterius itu. Dia tak banyak
bicara, hampir tak pernah membuka mulut. Namun demikian, anehnya aku merasa
bahwa kekuatan pribadinya seolah-olah mendominasi kita semua.
Dan Cynthia? Apakah dia mencurigai sese¬orang? Gadis itu kelihatan kurang sehat
dan lelah. Saya bertanya apakah dia sakit, dan dia menjawab,
"Ya, kepalaku pusing sekali."
"Mau tambah lagi kopinya?" kata Poirot penuh perhatian. "Akan lebih menyegarkan.
Tidak sama dengan mal de tete." Poirot segera berdiri dan mengambil cangkir
Cynthia.
"Tidak pakai gula," kata Cynthia sambil memperhatikan Poirot yang sedang
memegang penjepit gula.
"Tidak pakai gula? Anda tidak memakainya lagi dalam masa perang ini?"
"Tidak. Saya memang tidak pernah minum kopi dengan gula."
"SacreV Poirot bergumam sendiri ketika membawa cangkir kopi Cynthia.
Hanya sayalah yang mendengar perkataannya. Dengan agak curiga saya pandangi
wajahnya yang kelihatan menyimpan suatu rahasia. Matanya sehijau mata kucing.
Apakah dia mendengar atau melihat sesuatu yang sangat mencurigakan? Tapi apakah
itu? Saya merasa bahwa saya bukan orang tolol. Tapi saya akui bahwa tak ada sesuatu
yang luar biasa yang menarik perhatian saya.
Pintu terbuka dan Dorcas masuk.
"Tuan Wells ingin bertemu, Tuan," katanya pada John,
Saya ingat bahwa dia adalah pengacara Nyonya Inglethorp. John segera berdiri.
"Antarkan beliau ke ruang kerjaku," Kemudian dia berkata kepada kami, "Pengacara
Ibu," katanya menerangkan. Dan dengan suara rendah menambahkan, "Dia juga
seorang Coroner.* Barangkali Anda ingin bicara dengannya?" ft
Kami setuju dan mengikutinya ke "luar ruang makan. John berjalan di depan dan saya
menggunakan kesempatan itu untuk bertanya kepada Poirot,
"Kalau begitu akan ada pemeriksaan?"
Poirot mengangguk linglung. Kelihatannya ada yang sedang dipikirkannya. Saya jadi
ingin tahu.
"Ada apa? Kau tidak memperhatikan perta¬nyaanku?"
"Benar, Kawan. Aku sedang kuatir." "Mengapa?"
"Karena Nona Cynthia tidak minum kopi dengan gula." "Apa kau serius?"
"Tentu saja. Ah, ada sesuatu yang tak kumengerti. Instingku memang benar."
"Insting apa?"
"Insting yang membuatku memeriksa cangkir-cangkir itu, Chnt \ Sudahlah!"
petugas pemeriksa sebab-musabab kcmatian
Kami mengikuti John masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia menutup pintu.
Tuan Wells adalah seorang lelaki setengah baya yang menyenangkan, bermata tajam
dan bermulut seperti kebanyakan pengacara lainnya. John memperkenalkan kami dan
menerangkan alasan kehadiran kami.
"Kuharap kau mengerti, Wells, bahwa ini semua dilakukan dengan diam-diam. Kami
masih berharap agar tak perlu ada pemeriksaan,"
"Benar. Benar," kata Tuan Wells dengan simpatik. "Mudah-mudahan saja kami tak
perlu melakukan pemeriksaan dan tak perlu ada publisitas apa-apa. Tapi memang tak
bisa dihindar¬kan kalau tak ada surat keterangan dari dokter."
"Ya, memang begitu."
"Bauerstein memang luar biasa. Aku dengar dia menguasai bidang toksikologi."
"Ya," jawab John dengan kaku. Lalu dia menambahkan dengan ragu-ragu, "Apa kami
harus hadir sebagai saksi? Maksudku kami semua?"
"Yang pasti kau—dan ah—er—Tuan—er— Inglethorp."
Setelah diam sejenak, pengacara itu melanjutkan dengan sikap menghibur,
"Bukti lainnya akan sangar menguatkan."
"Hm, begitu."
Wajah John menjadi lega. Aku sendiri heran melihat sikapnya karena nampaknya dia
sama sekali tak terpengaruh.
"Kalau kau cak keberatan, aku merencanakan pemeriksaan itu hari Jumat nanti,
supaya kami bisa mempelajari laporan dokter. Pemeriksaan mayat akan dilakukan
malam ini, bukan?"
"Ya."
"Kalau begitu kau bisa menyetujui rencana kami?" "Ya."
"Aku sendiri ikut sedih dengan peristiwa ini, John."
"Apa Anda bisa membantu kami memecahkan persoalan ini?" tanya Poirot. "Saya?"
"Ya. Kami dengar Nyonya Inglethorp menulis surat kepada Anda kemarin malam.
Tentunya surat itu telah Anda terima tadi pagi."
"Benar. Tapi tidak ada isinya. Hanya mengata¬kan agar saya menemuinya pagi ini
karena dia memerlukan nasihat saya."
"Apa tidak ada—petunjuk, barangkali. Kira-kira tentang hal apa."
"Sayang sekali tidak ada."
"Ah, sayang," kata John.
"Ya, sayang sekali," kata Poirot kaku.
Kami diam. Poirot diam berpikir beberapa saat. Akhirnya dia bertanya lagi pada
pengacara itu.
"Tuan Wells, ada hal yang ingin saya tanyakan—kalau ini tidak menyalahi etika
profesi Anda. Dengan kematian Nyonya Inglethorp, siapa yang akan mewarisi
kekayaannya?"
Pengacara itu ragu-ragu sejenak, lalu menjawab,
"Hal ini akan segera diketahui umum. Jadi kalau Tuan Cavendish tak keberatan—"
"Sama sekali tidak," kata John.
"Saya tak punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan Anda. Surat wasiat Nyonya
Inglethorp yang terakhir, tertanggal bulan Agustus tahun lalu, menyatakan bahwa
setelah memberikan beberapa peninggalan kepada para pembantu dan sebagai-nya,
dia mewariskan semuanya kepada anak tirinya, Tuan John Cavendish."
"Bukankah itu—maafkan perkataan saya, Tuan Cavendish—agak kurang adil untuk
Tuan Law¬rence Cavendish?"
"Saya rasa tidak. Karena dalam wasiat ayah mereka ada pernyataan bahwa apabila ibu
mereka meninggal, maka John akan menerima rumah dan perkebunan; sedangkan
Lawrence akan menerima sejumlah uang yang cukup banyak. Nyonya Inglethorp
mewariskan uangnya pada J ohn karena tahu bahwa dia memerlukannya untuk
pemeli¬haraan rumah dan kebun. Menurut saya, pembagi¬an itu sangat adil."
Poirot mengangguk sambil berpikir.
"Baik. Tapi bukankah hukum Inggris menyata¬kan bahwa surat wasiat tersebut akan
batal secara otomatis apabila Nvonya Inglethorp menikah lagi?"
Tuan Wells menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya saya akan melanjutkan dengan hal ini, Tuan Poirot. Memang dokumen
tadi menjadi tak berarti."
"Hem\" seru Poirot. Dia diam sejenak, kemudian bertanya," Apakah Nyonya
Inglethorp mengerti akan hal tersebut?"
vSaya tak tahu. Mungkin, dia tahu." ."Dia tahu," kata John tanpa diduga. "Kami
membicarakan hal itu kemarin."
"Ah! Satu pertanyaan lagi, Tuan Wells. Anda tadi mengatakan 'wasiatnya yang
terakhir . Apakah Nyonya Inglethorp beberapa kali mem¬buat surat wasiat?"
"Rata-rata dia membuat surat wasiat setahun sekali," jawab Tuan Wells dengan
tenang. "Dia memang sering berubah pendapat. Kali ini menguntungkan satu anggota
keluarga, kali lain yang lainnya lagi."
"Seandainya," kata Poirot melanjutkan, "tanpa Anda ketahui, tiba-tiba dia membuat
surat wasiat yang menguntungkan orang lain—yang tidak ada hubungan keluarga
dengannya—misalnya saja, untuk Nona Howard—apakah Anda akan ter¬kejut?"
"Sama sekali tidak." » "Ah!" Poirot kelihatannya mengakhiri perta-nyaanpertanyaannya.
Saya mendekatinya ketika John dan pengacara itu sedang asyik bicara untuk
memeriksa dokumen Nyonya Inglethorp.
"Apa kaupikir Nyonya Inglethorp membuat surat wasiat yang mewariskan hartanya
untuk Nona Howard?" bisik saya pada Poirot penuh rasa ingin tahu.
Poirot tersenvum. "Tidak."
"Kalau begitu, kenapa kautanyakan?"
"Ssst!" - - '
J ohn Cavendish berpaling, ke Poirot. , "Anda mau ikut kami, Tuan Poirot? Kami
akan memeriksa dokumen-dokumen Ibu. Tuan Ingle¬thorp bersedia menyerahkan hal
itu pada Tuan Wells dan sava."
"Itu akan memudahkan," kata Tuan Wells. "Secara teknis dia berhak—" Dia tidak
melanjut¬kan kalimatnya.
"Kita periksa meja yang ada di ruang kerjanya dulu," kata John. "Setelah itu yang ada
di.kamar tidurnya. Ibu biasa menyimpan surat-surat penting dalam tas kerjanya."
"Ya. Mungkin ada sebuah surat wasiat yang lebih baru daripada yang sava pegang,"
kata Tuan Wells.
"Memang ada" terdengar suara Poirot.
"Apa?" John dan pengacara itu terkejut.
"Atau, lebih tepatnya," kata kawan saya dengan tenang, "pernah ada."
"Apa maksud Anda—pernah ada? Di mana sekarang?"
"Dibakar!"
"Dibakar?"
"Ya. Lihat ini." Dia mengambil potongan kertas yang terbakar yang ditemukannya di
perapian dalam kamar Nyonya Inglethorp. Diulurkannya benda itu pada Tuan Wells
sambil menjelaskan dengan singkat di mana dan kapan dia menemu¬kannya.
"Mungkin ini sebuah surat wasiat lama."
"Saya rasa tidak. Saya yakin bahwa surat wasiat itu dibuat kemarin siang."
"Apa?" "Tak mungkin!" Kedua pernyataan itu keluar hampir bersamaan.
Poirot memandang John.
"Kalau Anda tak berkeberatan memanggil tukang kebun Anda, saya akan
membukti¬kannya."
"Oh, tentu saja—tapi saya tidak mengerti—" Poirot mengangkat tangannya. "Lakukan
saja apa yang saya minta. Setelah itu Anda bisa menanyakan apa saja yang Anda
mau." "Baiklah." Dia membunyikan bel.
Dorcas muncul tak lama kemudian. "Dorcas, tolong panggilkan Manning kemari."
"Ya, Tuan." Dorcas keluar.
Kami menunggu dengan perasaan tegang. Poirot sendiri kelihatan santai. Dia
membersihkan debu di sudut lemari buku.
Suara debam sepatu bot di atas kerikil di luar menandakan kedatangan Manning. John
meman¬dang Poirot dengan penuh pertanyaan. Poirot hanya mengangguk.
"Masuklah, Manning. Aku ingin bicara de¬nganmu," kata John.
Manning masuk perlahan-lahan dan dengan ragu-ragu, lalu berdiri dekat jendela.
Topinya dilepas dan dipegangnya sambil diputar-putar. Punggungnya bongkok,
walaupun umurnya mungkin tidak setua penampilannya. Matanya tajam dan kelihatan
cerdas. Bicaranya pelan dan hati-hati.
"Manning," kata John. "Tuan ini ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu.
Ja¬wablah pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik."
"Ya, Tuan," katanya bergumam.
Poirot melangkah ke depan dengan cepat. Manning memandangnya sekilas dengan
pandang¬an agak merendahkan.
"Kemarin siang engkau menanam begonia di sisi selatan rumah, bukan?"
"Ya, Tuan. Saya dan William."
"Dan Nyonya Inglethorp datang ke jendela dan memanggilmu, bukan?"
"Ya, Tuan. Benar."
"Coba ceritakan dengan kata-katamu sendiri apa yang terjadi setelah itu."
"Tak banyak, Tuan. Beliau menyuruh William ke desa dengan sepedanya untuk
membeli formulir surat wasiat atau apa—saya tak tahu apa tepatnya—Nyonya
menuliskannya untuk Wil¬liam."
"Lalu?"
"Lalu dia pergi." "Setelah itu apa yang terjadi?" "Kami melanjutkan menanam
begonia, Tuan." "Apa Nyonya Inglethorp tidak memanggilmu lagi?"
"Ya, Tuan. Nyonya memanggil William dan saya."
"Kemudian?"
"Nyonya menyuruh kami masuk, dan menan¬datangani nama kami di bagian bawah
kertas yang panjang—di bawah tanda tangan Nyonya."
"Apa kau membaca sesuatu yang ada di atas tanda tangannya?" tanya Poirot tajam.
"Tidak, Tuan. Bagian itu ditutup dengan kertas pengering."
"Dan kau menandatangani di tempat yang diperintahkan?"
"Ya, Tuan. Saya dulu, lalu William."
"Apa yang dilakukan Nyonya setelah itu?"
"Nyonya memasukkan kertas itu ke dalam amplop panjang, lalu memasukkannya ke
dalam tas ungu di atas meja."
"Jam berapa ketika Nyonya memanggilmu pertama kali?"
"Kira-kira jam empat, Tuan."
"Tidak lebih siang? Bukan jam setengah empat?"
"Saya kira tidak. Mungkin lebih dari jam empat. Tapi tidak sebelumnya."
"Baiklah. Terima kasih, Manning," kata Poirot ramah.
Tukang kebun itu memandang tuannya. John mengangguk dan Manning
menempelkan sebuah jari di dahinya sambil menggumamkan sesuatu, lalu dia keluar.
Kami saling berpandangan.
'Ya, Tuhan!" seru John. "Suatu kebetulan yang luar biasa."
"Apa—kebetulan?"
"Bahwa Ibu membuat surat wasiat pada hari
kematiannya!"
Tuan Wells berdehem dan berkata,
"Anda yakin bahwa hal itu merupakan suatu
kebetulan, Tuan Cavendish?"
"Apa maksud Anda?"
"Anda pernah mengatakan bahwa Ibu Anda bertengkar hebat dengan seseorang
kemarin siang—"
"Apa maksud Anda?" seru John. Suaranya bernada takut dan wajahnya menjadi pucat.
"Karena pertengkaran itu, ibu Anda lalu membuat surat wasiat dengan tergesa-gesa.
Isi surat wasiat itu tak seorang pun tahu. Dia tak mengatakannya kepada orang lain.
Seandainya ada kesempatan, pasti pagi ini dia membicarakannya dengan saya. Surat
wasiat itu lenyap, dan dia membawa rahasia itu ke kuburnya. Cavendish, saya rasa tak
ada unsur kebetulan di sini. Tuan Poirot, apa Anda sependapat dengan saya bahwa
fakta-fakta itu mencurigakan?"
"Mencurigakan atau tidak," sela John, "kami sangat berterima kasih pada Tuan Poirot
yang telah menjelaskan persoalan ini. Apa Anda keberatan kalau saya ingin tahu apa
yang membuat Anda mencurigai hal tersebut?"
Poirot tersenyum dan menjawab,
"Suatu coretan di atas amplop tua dan begonia yang baru ditanam."
John pasti akan mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut seandainya tidak terdengar
gemuruh suara mobil yang melewati jendela.
"Evie!" seru John. "Maaf, Wells," katanya sambil bergegas ke luar.
Poirot memandang saya dengan mata bertanya.
"Nona Howard," kata saya menjelaskan.
"Ah, syukurlah dia datang. Ada juga wanita yang punya hati dan pikiran. Sayang
Tuhan tidak menganugerahinya kecantikan."
Saya mengikuti John ke luar ruangan menemui Nona Howard. Saya merasa sangat
bersalah ketika matanya memandang saya. Inilah wanita yang pernah
memperingatkan saya, namun yang kata-katanya tak pernah saya perhatikan. Begitu
cepat saya melupakan dan begitu ringan saya anggap pesan-pesannya. Dan sekarang
ketika apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan, saya merasa amat malu. Dia
mengenal Alfred Ingle¬thorp dengan baik. Saya tak tahu apakah bila dia tetap tinggal
di sini, tragedi itu tak akan pernah terjadi. Barangkali saja laki-laki itu takut pada
matanya yang selalu awas.
Saya merasa iega ketika dia menyalami saya dengan genggaman yang kuat dan agak
menyakit¬kan. Mata yang menatap mata saya memang sedih tetapi tidak membenci.
Dari matanya yang merah kelihatan bahwa dia baru saja menangis. Namun sikapnya
tetap kasar.
"Begitu dapat telegram, langsung menyewa mobil. Supaya cepat sampai. Untung
sedang tidak tugas."
"Kau sudah makan, Evie?" tanya John. "Belum."
"Makanlah dulu kalau begitu. Makan pagi masih belum disingkirkan. Mereka akan
membuatkan teh segar untukmu." John berpaling kepada saya. "Tolong temani dia,
Hastings, Wells menunggu¬ku. Oh, ini dia Tuan Poirot. Beliau membantu kami,
Evie."
Nona Howard bersalaman dengan Poirot, tetapi melemparkan pandangan curiga ke
arah John.
"Apa maksudmu—membantu kami?"
"Membantu menyelidik."
"Tak ada yang perlu diselidiki. Apa mereka sudah membawanya ke penjara?"
"Membawa siapa?"
"Siapa? Tentu saja, Alfred Inglethorp!"
"Evie, hati-hati. Lawrence saja berpendapat bahwa Ibu meninggal karena serangan
jantung."
"Lawrence memang tolol," sahut Evie marah. "Pasti si Alfred itu yang membunuh
Emily—aku selalu mengatakan hal itu."
"Evie, jangan berteriak seperti itu. Apa pun yang kita pikirkan atau curigai, sebaiknya
tidak perlu kita katakan untuk sementara. Pemeriksaan baru akan dilakukan hari
Jumat"
"Mengapa menunggu sampai kiamat?" sahut Evie dengan marah. "Kalian semua apa
sudah tidak bisa berpikir lagi? Laki-laki itu nanti pasti sudah kabur ke luar negeri.
Kalau dia punya otak, dia tak akan enak-enakan diam di sini menunggu tiang
gantungan." John Cavendish memandang Evie tanpa daya.
"Aku tahu sebabnya," katanya kepada John. "Kau pasti mengikuti perintah dokter!
Jangan sekali-kali dengarkan mereka. Apa sih yang mereka tahu? Tak ada. Aku tahu
karena ayahku adalah dokter. Dan si Wilkins itu tak lebih dari orang tolol. Serangan
jantung! Itu pasti yang dikatakannya. Siapa pun yang berpikiran waras akan segera
melihat bahwa suaminyalah yang telah meracunnya. Aku selalu bilang bahwa dia
akan membunuh Emily di tempat tidurnya. Sekarang dia sudah melakukannya. Dan
yang kalian lakukan hanyalah menggumamkan hal-hal tolol seperti 'serangan jantung',
'pemeriksaan pada hari Jumat', Seharusnya kau merasa malu, John Cavendish."
"Aku kausuruh harus bagaimana?" tanya John sambil tersenyum kecil. "Persetan,
Evie. Aku kan tidak bisa melemparnya ke kantor polisi dengan borgol- di lehernya."
"Ya—pokoknya kau harus berbuat sesuatu. Selidiki bagaimana dia melakukannya."
Rasanya mengakurkan Nona Howard dan Alfred Inglethorp di bawah satu atap
merupakan pekerjaan yang luar biasa. Dan saya tidak iri pada John. Saya tahu bahwa
dia menyadari hal itu. Yang dilakukannya saat itu adalah mundur dan ke luar ruangan.
Dorcas membawa masuk secangkir teh segar.
Setelah dia ke luar, Poirot mendekati Nona Howard.
"Nona," katanya dengan nada datar, "saya ingin menanyakan sesuatu."
"Tanyakan saja," katanya dengan mata yang menunjukkan rasa kurang senang pada
Poirot.
"Saya ingin mendapat bantuan Anda."
"Saya akan dengan senang hati membantu Anda menggantung Alfred," jawabnya
dengan kasar. "Gantungan terlalu bagus untuknya. Seharusnya ditenggelamkan atau
direjam seperti zaman dulu."
"Kalau begitu kita sependapat. Karena saya juga ingin menggarfrimg pembunuh itu."
"Alfred Inglethorp?"
"Dia, atau yang lainnya."
"Tak ada yang lain. Tak ada yang membunuh Emily sampai dia datang. Saya tidak
mengatakan bahwa Emily tidak dikelilingi ikan hiu. Tapi hiu-hiu n u hanyalah
mengincar dompetnya. Hidupnya tetap aman. Tetapi setelah kedatangan Tuan Alfred
Inglethorp—dalam dua bulan—hek!"
"Percayalah, Nona Howard," kata Poirot bersungguh-sungguh. "Kalau memang Tuan
Ing¬lethorp orangnya, dia tak akan iuput dari tangan saya. Saya akan
menggantungnya setinggi mungkin."
"Bagus," kata Nona Howard dengan antusias.
"Tetapi sava terpaksa minta agar Anda memper¬cayai saya. Bantuan Anda mungkin
sangat berarti bagi saya. Akan saya beritahu sebabnya. Karena dari semua orang yang
sedang berkabung di rumah ini, hanya mata Anda yang menangis."
Nona Howard mengedip-ngedipkan matanya. Sebuah nada baru terdengar dalam
suaranya yang kasar.
"Kalau yang Anda maksud adalah saya sayang pada Emily—ya, memang benar.
Emily adalah seorang wanita tua yang sangat egois. Dia memang murah hati, tapi dia
mau kita mengembalikan kebaikannya. Dia tidak pernah membiarkan orang lupa pada
apa yang telah diberikannya kepada mereka. Dengan cara seperti itu—dia kehilangan
cinta. Saya rasa dia tidak sadar akan hal itu. Tapi saya lain. Dari pertama kali saya
tegas. Saya dibayar sekian sebagai imbalan pekerjaan saya. Tapi saya tak mau
menerima apa-apa lagi sebagai pemberian sampingan—tidak sepasang sarung tangan,
tidak juga selembar karcis bioskop. Dia tidak mengerti dan kadang-kadang marah.
Saya dikatainya tolol dan sombong. Bukannya saya 'emikian—tapi saya tak bisa
menerangkan. Bagaimanapun saya menjaga harga diri saya. Dengan demikian sayalah
satu-satunya orang yang bisa merasa sayang padanya. Saya jaga dia. Saya lindungi
dia. Tapi tiba-tiba saja ada seorang bajingan datang, dan puh! Semua pengabdian saya
sia-sia."
Poirot mengangguk penuh pengertian.
"Saya mengerti, Nona. Saya mengerti apa yang Anda rasakan. Itu sangat wajar. Dan
Anda mengira bahwa kami santai-santai saja—bahwa kami tidak punya enerji—
sebenarnya tidaklah demikian."
Pada saat itu John menjengukkan kepalanya ke dalam dan mengundang kami untuk
datang kc kamar Nyonya Inglethorp karena dia dan Tuan Wells telah selesai
memeriksa dokumen-dokumen penting di ruang kerja Nyonya Inglethorp.
Ketika kami naik, John memandang kembali ke pintu ruang makan dan berkata
dengan suara rendah,
"Apa yang akan terjadi kalau mereka bertemu?" Saya menggelengkan kepala tanpa
daya. "Aku telah mengatakan pada Mary supaya memisahkan mereka kalau bisa."
"Apa dia bisa?"
"Tak tahulah. Tapi Inglethorp sendiri tak akan senang, bertemu dengan dia."
"Kau masih menyimpan kunci kamar itu, bukan, Poirot?" kata saya ketika kami
sampai di pintu kamar yang terkunci.
John menerima kunci dari Poirot, membuka nya, dan kami pun masuk. Pak Pengacara
langsung menuju ke meja dan John mengikutinya.
"Ibu menyimpan dokumen-dokumen penting dalam tas ini," kata John.
Poirot mengeluarkan rentengan kunci dari sakunya.
"Maaf, saya menguncinya tadi pagi." "Tapi ini tidak dikunci." "Tak mungkin!"
"Lihat." Dan John membuka tutupnya. "Milies toftnerres!" seru Poirot kaget. "Dan
saya—menyimpan kedua kuncinya dalam saku
saya!" Dia mengambil tas itu. Tiba-tiba dia menjadi kaku. "En voild une affaire \
Kunci ini dirusak!" "Apa?"
Poirot meletakkan tas itu kembali "Tapi siapa yang melakukannya? Mengapa?
Kapan? Bukankah pintu dikunci?" Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari mulut kami
berganti-ganti.
Poirot menjawab dengan otomatis dan tersusun.
"Siapa? Itulah pertanyaannya. Mengapa? Ah, seandainya saya tahu. Kapan? Sejak
saya keluar dari sini, berarti satu jam yang lalu. Pintu kamar memang terkunci, tapi
kuncinya kunci biasa. Barangkali kunci kamar lain bisa dipakai,"
Kami saling berpandangan. Poirot berjalan menuju perapian. Dari luar dia kelihatan
tenang. Tapi saya bisa melihat bahwa perasaannya guncang. Tangannya yang
membetulkan letak vas-vas yang tergeletak di atas perapian itu gemetar.
"Mungkin begini," katanya. "Ada sesuatu di dalam tas itu—mungkin suatu tanda
bukti. Barangkali tidak terlalu jelas, tapi bisa menunjuk ke arah si pembunuh. Karena
itu, bagaimana pun juga harus dihancurkan sebelum ditemukan oleh orang lain.
Ketika diketahui bahwa tas ini terkunci dia terpaksa membukanya dengan paksa
walaupun hal itu akan menunjukkan kehadirannya di tempat ini. Dokumen itu pasti
sangat berarti karena risiko yang diambilnya cukup besar."
"Tapi dokumen apa itu?"
"Ah!" seru Poirot dengan marah. "Itu saya tak tahu! Barangkali kertas yang dilihat
Dorcas sedang di pegang Nyonya Inglethorp kemarin siang. Dan saya—"
Kemarahannya tak terbendung lagi! —"benar-benar tolol. Tak terpikir akan begini
jadinya! Seharusnya tas itu tidak saya geletakkan di sini begitu saja. Seharusnya saya
bawa ke mana pun saya pergi. Tapi dasar bodoh! Dokumen itu sekarang tak ada lagi.
Sudah dihancurkan—tapi benarkah dokumen itu telah dihancurkan? Apakah tak ada
lagi kesempatan untuk mendapatkannya?"
Dia berlari ke luar kamar dan saya mengikutinya seperti orang yang baru sadar. Tetapi
ketika saya sampai di puncak tangga, Poirot sudah lenyap.
Mary Cavendish berdiri di tangga yang bercabang, memandang ke bawah, ke arah
Poirot menghilang.
"Ada apa dengan teman Anda, Tuan Hastings? Dia melewati saya seperti kerbau
gila."
"Dia agak bingung," kata saya. Saya sendiri tak tahu apakah Poirot tak berkeberatan
bila saya memberitahukan hal yang terjadi. Ketika saya melihat senyum samar pada
bibir Nyonya Cavendish, saya mencoba membelokkan perca¬kapan dengan bertanya,
"Mereka belum bertemu, bukan?"
"Siapa?"
'Tuan Inglethorp dan Nona Howard?" Dia memandang saya dengan sikap bingung.
"Anda pikir akan terjadi perang bila mereka bertemu?"
"Yah—bagaimana pendapat Anda?" tanya saya agak terkejut.
"Tidak," katanya sambil tersenyum samar. "Saya lebih suka melihat perang itu.
Rasanya akan menormalkan situasi kembali. Sekarang ini kita terlalu banyak berpikir
dan kurang bicara."
"Saya rasa John tidak berpendapat begitu. Dia ingin agar keduanya tidak usah
bertemu."
"Oh, John!"
Ada sesuatu pada nada suaranya yang membuat saya marah dan langsung berkata,
"John selalu baik."
Dia memandang saya sesaat lalu berkata—kata-katanya membuat saya kaget.
"Anda adalah teman yang setia. Saya sangat menghargai hal itu."
"Apa Anda bukan teman saya juga?"
"Saya bukan teman yang baik."
"Mengapa Anda berkata begitu?"
"Karena memang begitu. Saya baik pada teman-teman saya pada suatu waktu, lalu
saya melupakan mereka pada saat yang fain."
Saya tak tahu apa yang mendorong saya untuk mengatakan hal itu. Tapi perkataan itu
nyerocos keluar begitu saja seperti perkataan orang tolol,
"Tapi Anda kelihatan baik sekali pada Dokter Bauerstein!"
Saya menyesal setelah mengucapkan kalimat itu. Wajah Mary berubah jadi kaku.
Saya merasa ada sebuah tirai baja menutupi pribadinya yang asli. Tanpa berkata apaapa
dia berbalik, dan naik ke atas dengan cepat. Saya sendiri bingung seperti orang
tolol.
Tiba-tiba saya mendengar suara ribut Poirot. Rupanya dia tidak mempercayai siapa
pun di rumah itu dan diplomasi saya sia-sia saia. Saya benar-benar menyesalkan sikap
Poirot yang seperti orang kehilangan keseimbangan itu. Cepat-cepat saya menuruni
tangga. Dia menjadi agak reda setelah melihat saya. Saya tarik dia ke samping,
"Apa kau menganggap tindakan ini bijaksana?" tanya saya. "Kau ingin agar semua
orang tahu apa yang terjadi? Kau gegabah sekali."
"Kau berpikir begitu, Hastings?" »,
"Aku yakin akan hal itu."
"Baiklah kalau begitu, aku akan ikuti nasi¬hatmu."
"Bagus. Savang sekarang sudah terlambat." "Ya."
Dia kelihatan begitu menyesal dan saya merasa sangat kasihan melihatnya walaupun
saya tahu bahwa peringatan saya itu penting.
"Kalau begitu, kita pergi saja, mon amt"
"Kau telah selesai di sini?"
"Untuk saat ini, ya. Kau mau berjalan bersamaku kembali ke desa?"
*'Ya."
Dia mengambil tasnya dan kami ke luar melalui pintu kaca ruang keluarga yang
terbuka. Cynthia
Murdock baru saja masuk dan Poirot minggir memberi jalan.
"Maaf Nona, sebentar saja."
"Ya?" tanyanya ingin tahu.
"Apa Anda pernah meramu obat untuk Nyonya Inglethorp?"
Wajahnya berubah menjadi merah dan dengan agak tegang dia menjawab,
"Tidak."
"Hanya obat bubuknya saja?" Wajah Cynthia bertambah merah keuka ber¬kata,
"Oh, ya. Saya pernah membuat obat tidur berbentuk bubuk untuk dia." "Ini?"
Poirot rflfcngeluarkan dos obat berisi bubuk. Dia mengangguk.
"Apa yang ada di dalamnya? Sulphonal? Veronal?"
"Bukan. Bubuk bromida."
"Ah! Terima kasih, Nona. Selamat pagi."
Sambil berjalan ke luar dengan cepat, saya melirik Poirot beberapa kali. Saya tahu
bahwa apabila ada sesuatu yang mendebarkan hatinya, matanya akan berubah menjadi
hijau seperti mata seekor kucing. Dan mata itu bersinar seperti zamrud sekarang ini.
"Kawan, aku punya sebuah ide—yang aneh, dan barangkali tak masuk akal. Tetapi
ide itu—cocok," katanya.
Saya hanya mengangkat bahu. Saya sendiri berpendapat bahwa Poirot terlalu banyak
dipenuhi oleh ide-ide fantastis. Dan dalam kasus ini hal itu menonjol dengan jelas.
"Jadi itulah keterangan label tak bernama di dos obat itu," jawab saya. "Sangat
sederhana—seperti yang kaukatakan. Aku sendiri heran kenapa hal itu tak pernah
terpikir olehku."
Poirot kelihatannya tak mendengarkan perkata¬an saya.
"Mereka telah mendapat penemuan lagi, labast" katanya sambil mengacungkan ibu
jarinya ke arah Styles. "Tuan Wells mengatakannya padaku ketika kami menaiki
tangga."
"Tentang apa?"
"Surat wasiat Nyonya Inglethorp yang bertang¬gal sebelum pernikahannya,
mewariskan semua hartanya pada Alfred Inglethorp. Pasti dibuat ketika mereka masih
bertunangan. Surat wasiat itu disimpan dalam laci terkunci, dalam ruang kerja
Nyonya Inglethorp. Surat wasiat itu membuat Wells heran—juga John Cavendish.
Tertulis dalam formulir surat wasiat cetakan, dan disaksikan oleh dua orang
pembantu, tapi bukan Dorcas."
"Apa Tuan Inglethorp tahu?"
"Katanya tidak."
"Bisa jadi surat wasiat itu ada karena garam itu," kata saya dengan skeptis. "Surat
wasiat-surat wasiat itu sangat membingungkan. Coba jelaskan bagaimana coretan di
amplop itu membantumu
mengambil kesimpulan bahwa ada sebuah surat wasiat yang dibuat kemarin siang?"
Poirot tersenyum.
"Mon amt, pernahkah kau mengalami, pada waktu menulis surat, kau tidak tahu atau
tidak yakin akan ejaan beberapa kata?"
"Ya, sering, Aku rasa setiap orang pernah mengalaminya."
"Tepat. Dan bukankah yang kita lakukan pada waktu menghadapi situasi begitu
adalah mencoret-coret ejaan yang kira-kira tepat di selembar kertas lain? Nah, itulah
yang dilakukan Nyonya Inglethorp. Pertama-tama dia menulis kata 'posses¬sed'
dengan satu s. Lalu dengan dua s. Untuk meyakinkan diri, dia menuliskannya dalam
sebuah kalimat. Nah, apa artinya hal itu? Nyonya Inglethorp telah menuliskan kata
'possessed' pada« sore itu. Karena aku menemukan potongan kertas yang hampir jadi
abu di perapian itu, maka aku memikirkan adanya kemungkinan pembuatan surat
wasiat—(atau sebuah dokumen yang meng¬gunakan kata itu). Kemungkinan itu
dikuatkan lagi oleh situasi yang lain. Karena ada kejadian yang membuat kacau itu,
ruang*tamu Nyonya Ingle¬thorp rupanya tak sempat disapu, pagi tadi. Aku melihat
bekas-bekas kotoran tanah di dekat meja. Padahal cuaca sangat bagus beberapa hari
ini, dan sepatu bot yang biasa pasti tak akan meninggalkan kotoran seperti itu.
"Lalu aku berjalan ke jendela, dan kulihat ada beberapa bedeng bunga begonia yang
baru ditanam. Tanah yang ditanami bunga begonia itu sama dengan kotoran yang ada
di dekat meja. Aku juga tahu darimu bahwa bunga itu baru ditanam kemarin sore. Jadi
aku bertambah yakin bahwa salah seorang atau kedua orang tukang kebun— karena
ada dua pasang jejak kaki di tanah yang baru ditanami itu—telah masuk ke ruangan
Nyonya Inglethorp, karena kalau Nyonya Inglethorp hanya ingin bicara kepada
mereka, dia cukup berdiri di jendela dan tidak perlu menyuruh tukang kebunnya
masuk. Aku menjadi yakin bahwa dia telah membuat sebuah surat wasiat baru dan
menyuruh tukang kebunnya menjadi saksi. Dan keyakinanku itu ternyata benar."
"Itu sangat luar biasa," saya mengakui ketajam¬an cara berpikir Poirot. "Terus
terang saja M kesimpulanku tentang coretan di amplop itu keliru."
Dia tersenyum.
"Karena kau terlalu mengekang imajinasimu. Imajinasi adalah pelayan yang baik,
tetapi tuan yang buruk. Penjelasan yang paling sederhana merupakan kemungkinan
yang paling besar."
"Satu hal lagi—bagaimana kau tahu bahwa kunci tas Nyonya Inglethorp pernah
hilang?"
"Sebetulnya aku tak tahu. Hanya prasangka saja, tapi ternyata benar. Kaulihat sendiri
bahwa ada sepotong kawat terpilin pada handelnya. Kemungkinan pernah dibuka
dengan kawat tipis. Seandainya kunci itu hilang dan ditemukan lagi, Nyonva
Inglethorp pasti akan memasukkannya dalam rentengan kuncinya. Tapi dalam
rentengan kunci itu yang ada hanyalah duplikatnya saja— baru dan masih bagus. Jadi
pasti ada orang lain yang meletakkan kunci itu ke lubang kunci tas tersebut."
"Ya. Pasti Alfred Inglethorp," kata saya.
Poirot memandang saya dengan rasa ingin tahu.
"Kau yakin dia bersalah?"
"Yah—siapa lagi. Semua bukti kelihatannya menunjuk ke hidungnya."
"Sebaliknya," kata Poirot dengan tenang, "ada hal-hal yang menguntungkan
posisinya."
"Ah—yang benar!"
"Ya."
"Aku hanya tahu satu hal." "Apa itu?"
"Bahwa dia tidak di rumah kemarin malam." "Wah, kebalikannya. Kau memilih satu
hal yang menurutku justru memberatkan dirinya." "Kenapa begitu?"
"Karena kalau Tuan Inglethorp tahu bahwa istrinya akan diracuni kemarin malam, dia
pasti merencanakan untuk tidak ada di rumah. Alasan¬nya jelas dibuat-buat. Hal itu
memberikan dua kemungkinan yaitu, bahwa dia memang tahu apa yang akan terjadi
atau dia punya alasan sendiri untuk tidak berada di rumah."
"Dan alasan itu?" tanya saya skeptis.
Poirot mengangkat bahunya.
"Bagaimana aku tahu? Jelas tak bisa dipercaya. Tuan Inglethorp ini memang agak
bajingan—tapi
hal itu tidak mesti membuatnya menjadi seorang pembunuh."
Saya menggelengkan kepala tidak yakin.
"Kita berbeda pendapat, eh?" kata Poirot. "Tak apalah. Nanti juga akan ketahuan
siapa yang benar. Sekarang kita lihat aspek-aspek lain dari kasus ini. Apa pendapatmu
tentang fakta bahwa semua pintu kamar tidur Nyonya Inglethorp terkunci dari
dalam?"
"Aku rasa kita harus melihatnya secara logis." "Benar."
"Pintu-pintu itu memang terkunci—mata kita telah melihatnya sendiri—tetapi tetesan
lilin di lantai dan pemusnahan surat wasiat itu merupakan bukti bahwa ada seseorang
yang masuk ke situ malam itu. Kau setuju sampai di sini?"
"Bagus. Aku setuju. Teruskan."
"Karena orang yang masuk tadi tidak melalui jendela, maka pintu itu pasti dibuka dari
dalam oleh Nyonya Inglethorp sendiri. Itu menguatkan kecurigaan bahwa orang
tersebut adalah suaminya, jelas dia akan membukakan pintu untuk suaminya."
Poirot menggelengkan kepalanya.
"Kenapa begitu? Dia kan yang mengunci pintu ke kamar suaminya—itu merupakan
hal yang aneh—tapi sore harinya dia memang bertengkar hebat dengan suaminya.
Tidak. Aku rasa dia tak ingin melihat suaminya lagi malam itu."
"Tapi kau sependapat bahwa pintu itu dibuka oleh Nyonya Inglethorp sendiri?"
"Ada kemungkinan lain. Mungkin dia lupa mengunci pintu dekat koridor ketika tidur
dan setelah terbangun baru dia menguncinya."
"Poirot, apa kau serius?"
"Aku tak mengatakan bahwa itu suatu kepasti¬an. Tapi merupakan suatu
kemungkinan. Sekarang hal lainnya. Kau masih ingat tentang percakapan yang
kaudengar antara Nyonya Cavendish dengan ibu mertuanya?"
"Aku telah lupa," kata saya mencoba meng¬ingat. "Sangat misterius. Rasanya aneh
kalau seorang wanita seperti Nyonya Cavendish—yang angkuh dan pendiam itu—
begitu ingin tahu hal yang bukan urusannya."
'Tepat. Memang mengherankan, apalagi untuk wanita berpendidikan seperti dia."
"Dan mencurigakan. Namun aku rasa tidak begitu penting dalam hal ini."
Poirot mengeluh.
"Apa yang selalu kukatakan padamu? Segala sesuatu harus kita perhitungkan. Kalau
fakta tidak ' cocok dengan teori—tinggalkan saja teorinya."
"Ya—baiklah," kata saya menyerah.
"Baik. Akan kita lihat nanti."
Kami telah sampai di Pondok Leastways, tempat Poirot dan kawan-kawannya tinggal.
Poirot mengajak saya naik ke kamarnya. Dia menawarkan rokok Rusia yang jarang
diisapnya. Saya heran melihat dia menyimpan korek api bekas di sebuah jambangan.
Kemarahan sesaat saya hilang.
Poirot meletakkan kursi kami di depan jendela yang menghadap jalan di desa. Udara
segar yang hangat berhembus dari luar. Kelihatannya hari itu akan panas.
Tiba-tiba saya melihat seorang laki-laki muda yang berlari-lari dengan tergesa.
Wajahnya penuh rasa takut dan dia kelihatan gelisah.
"Lihat, Poirot!" kata saya.
Dia membungkuk ke depan.
"Tiensl" katanya. "Itu Tuan Mace, dari toko obat. Dia datang kemari."
Laki-laki itu berhenti di depan Pondok Leastways. Setelah ratu-ragu sejenak, dia
menge¬tuk pintu keras-keras.
Sebentar," seru Poirot dari jendela. "Saya turun."
Sambil memberi tanda agar mengikuti dia, Poirot berlari turun tangga. Tuan Mace
segera nyerocos.
"Oh, Tuan Poirot. Maaf mengganggu. Saya dengar Anda baru saja datang dari sana?"
"Ya, benar."
Orang muda itu membasahi bibirnya yang kering. Wajahnya penuh rasa ingin tahu.
"Kami di desa mendengar bahwa Nyonya Inglethorp tiba-tiba saja meninggal. Mereka
mengatakan—" dia berkata dengan berbisik— "keracunan?"
Wajah Poirot tidak berubah.
"Hanya dokter yang bisa memastikan hal itu, Tuan Mace."
"Ya—tentu—" Laki-laki itu ragu-ragu. Tapi kegelisahannya mengalahkan
keraguannya. Dia mencengkeram lengan Poirot dan berbisik, 'Tapi bukan strychnine,
kan?"
Saya tak mendengar apa yang dikatakan Poirot. Tetapi pasti sesuatu yang bukan
kepastian. Laki-laki muda itu kemudian pergi. Poirot memandang saya sambil
menutup pintu.
"Ya," katanya dengan muka suram. "Dia akan memberikan bukti pada waktu
pemeriksaan."
Pelan-pelan kami naik kembali ke kamar. Saya baru saja akan membuka mulut ketika
Poirot mengangkat tangan sambil berkata,
"Tidak sekarang, mon ami, Aku perlu waktu untuk berpikir. Pikiranku sedang
kacau—tidak baik."
Kurang lebih sepuluh menit lamanya dia duduk membisu. Hanya alis matanya yang
kadang-kadang bergerak. Bertambah lama matanya bertambah hijau. Akhirnya dia
menarik napas panjang.
"Sudah baik. Waktu yang gawat telah lewat. Semua telah tersusun sekarang dan
diklarifikasi. Kita tak boleh kacau. Kasus ini belum jelas* Sangat kompleks.
Membingungkan aku. Aku, si Hcrcule Poirot! Ada dua hal yang penting."
"Apa itu?"
"Yang pertama adalah cuaca kemarin. Itu sangat penting."
"Lho, kemarin kan udara cerah? Jangan main-main, Poirot!" seru saya.
"Sama sekali tidak. Termometer mencatat 80 Jangan lupa hal itu, Kawan. Karena
merupakan kunci teka-teki."
"Dan hal kedua?" tanya saya.
"Fakta bahwa Tuan Inglethorp mengenakan pakaian yang aneh, berjenggot hitam, dan
memakai kaca mata."
"Poirot, benarkah kau serius?"
"Tentu saja."
"Ini sih permainan anak-anak!"
"Sama sekali bukan."
"Seandainya juri memutuskan Pembunuhan Kejam oleh Alfred Inglethorp, bagaimana
dengan teori-teorimu?"
'Teori-teori itu tak akan goyah karena dua belas orang bodoh telah membuat
kekeliruan! Tapi hal itu tak akan terjadi. Karena juri desa .tak akan mengambil
tanggung jawab sendiri dan Tuan Inglethorp berada di bawah mereka. Dan lagi, aku
tak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja."
"Kau, tak akan membiarkannya?" *
"Tidak."
Saya memandang laki-laki kecil luar biasa itu dengan rasa gemas bercampur heran.
Dia begitu yakin pada dirinya sendiri. Seolah-olah dapat membaca pikiran saya,
Poirot mengangguk pelahan.
"Oh ya, mori ami, aku akan melakukannya." Dia berdiri dan meletakkan tangannya di
bahu . saya.
Wajahnya berubah sedih, matanya berkaca-kaca. "Aku memikirkan Nyonya
Inglethorp yang malang itu. Tak ada yang mencintainya. Tapi dia sangat baik kepada
kami bangsa Belgia—aku merasa berhutang budi."
Saya berusaha untuk menyela, tapi Poirot meneruskan kata-katanya.
"Dengarlah, Hastings. Dia tak akan memaaf¬kanku seandainya aku membiarkan
Alfred Inglethorp, suaminya, ditahan sekarang—karena dengan satu kalimat aku
masih bisa menyelamatkannya. "
Kembali Ke Atas Go down
http://b1t4-daniyaputri.blogspot.com/
 

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

 Similar topics

-
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.4)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.6)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.7)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.8)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9)

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
DETECTIVE AND MAFIA :: DAM Office :: Library :: Story of Detective-