DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Silakan mendaftar atau masuk untuk mengakses forum Detective and Mafia.


-Terima Kasih-
DETECTIVE AND MAFIA
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

DETECTIVE AND MAFIA

Mens Vincit Omnia
 
IndeksIndexGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Selamat datang di forum Detective and Mafia, silakan perkenalkan diri
di Perkenalan member baru agar resmi menjadi member Detective and Mafia
Selamat datang di DAM
Silakan baca petunjuk, peraturan dan tata cara bermain forum
Di sini sebelum melakukan aktivitas di forum

Share
 

 Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down 
PengirimMessage
Cherrémio Chii

Newbie
Newbie
Cherrémio Chii

Female
Age : 28
Reputation : 5
Jumlah posting : 265

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9) Empty
PostSubyek: Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9)   Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9) I_icon_minitimeMon Mar 28, 2011 3:31 pm

9. DR. BAUERSTEIN

SAYA belum mendapat kesempatan baik untuk menyampaikan pesan Poirot kepada
Lawrence. Tapi ketika saya sedang berjalan-jalan di halaman untuk mendinginkan
emosi, saya melihat Lawren¬ce di lapangan kriket, memukul-mukul dua buah bola
kuno dengan tongkat kuno—tanpa sasaran yang jelas.
Saya rasa sekaranglah saya harus bicara. Sebenarnya saya tidak mengerti pesan
tersebut. Tapi saya akan mendengar baik-baik jawaban Lawrence. Mungkin dari situ
saya akan dapat menarik kesimpulan.
"Aht kebetulan. Dari tadi aku cari-cari," kata saya berbohong.
"Benarkah?"
"Ya. Ada pesan dari Poirot." "Ya?"
"Aku harus mengatakannya bila tak ada orang lain." Saya melirik dia untuk melihat
reaksinya. Tetapi ekspresinya tidak berubah. Mungkinkah dia sudah mengerti apa
yang akan saya katakan? "Apa pesannya?"
"Begini," saya mencoba mendramatisir suasana. " 'Carilah cangkir kopt ekstra itu, dan
kau akan tenang kembali.' "
"Apa maksudnya?" tanya Lawrence dengan polos.
"Kau tidak mengerti?" tanya saya.
"Sama sekali tidak. Kau?"
Saya terpaksa menggelengkan kepala.
"Cangkir kopi ekstra yang mana?"
"Aku tak tahu."
"Sebaiknya dia tanya Dorcas atau salah satu pelayan yang lain, kalau dia ingin tahu
tentang cangkir-cangkir kopi. Mereka lebih tahu karena itu urusan mereka dan bukan
urusanku. Aku tak tahu apa-apa tentang cangkir kopi, kecuali cangkir-cangkir yang
belum pernah terpakai itil. Setelan Worcester yang indah sekali. Kau bukan peneliti
karya seni, kan?"
Saya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali. Benar-benar porselen yang indah—melihatnya saja kita sudah senang,
apalagi memegangnya."
"Jadi apa yang harus kukatakan pada Poirot?" "Katakan saja aku tidak mengerti
pesannya." "Baiklah."
Saya sedang berjalan kembali menuju rumah, ketika tiba-tiba dia berteriak,
"He, dia bilang apa pada pesannya tadi? Kalimat terakhir. Coba ulangi sekali lagi."
" 'Carilah cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali'. Kau benar-benar
tidak tahu?" tanya saya mendesak.
Dia menggelengkan kepalanya,
'Tidak," katanya bingung. "Seandainya saja aku tahu."
Kami mendengar gong berbunyi dan masuk kc dalam rumah bersama-sama. Poirot
yang diminta John untuk ikut makan siang bersama sudah menunggu kami di meja.
Tanpa diperingatkan, kami semua menghindari percakapan tentang tragedi yang baru
lalu. Tetapi setelah biskuit dan keju diedarkan dan Dorcas meninggalkan ruangan,
Poirot tiba-tiba saja mendekati Nyonya Cavendish dan berkata,
"Maaf, Nyonya, seandainya saya mengingatkan kembali pada hal-hal yang tidak
menyenangkan. Saya punya beberapa ide kecil dan ingin menanyakan satu-dua hal
pada Nyonya."
"Dengan senang hati, Tuan Poirot."
"Anda baik sekali. Anda pernah mengatakan bahwa pintu yang menghubungkan
kamar Nyo¬nya Inglethorp dengan kamar Nona Cynthia digerendel, bukan?"
"Ya. Saya mengatakan hal itu pada waktu pemeriksaan," jawab Nyonya Cavendish
heran.
"Digerendel?"
"Ya." Dia kelihatan bingung.
"Maksud saya, Anda yakin bahwa pintu itu digerendel, tidak sekadar dikunci?"
"Oh, saya mengerti yang Anda maksud. Saya tak tahu. Saya mengatakan pintu itu
digerendel— maksud saya dikunci, dan saya tak bisa membuka¬nya. Tapi saya yakin
bahwa semua pintu digerendel dari dalam."
"Tapi ada kemungkinan bahwa pintu itu hanya terkunci?"
"Oh, ya."
1
"Dan Anda sendiri tidak memperhatikan hal itu ketika masuk ke kamar Nyonya
Inglethorp?"
"Saya—saya rasa digerendel."
"Tapi Anda tidak memperhatikannya?"
"Tidak. Saya tidak memperhatikan."
"Saya melihatnya," tiba-tiba Lawrence me¬nyela. "Saya kebetulan melihat bahwa
pintu itu digerendel "
"Ah, kalau begitu sudah pasti," kata Poirot dengan wajah kecewa.
Saya merasa senang karena 'ide-ide kecil' Poirot ternyata tak ada hasilnya.
Setelah makan siang, Poirot minta saya menemaninya pulang. Saya menyanggupinya
dengan setengah hati.
"Kau marah, ya?" kata Poirot ketika kami berjalan melewati kebun.
"Tidak," jawab saya dingin.
"Bagus. Aku merasa lega."
Ini bukan hal yang saya harapkan. Saya sebetulnya ingin agar dia merasakan sikap
saya yang kaku. Tapi saya malah merasakan kehangatan sikap Poirot. Hati saya
meleleh.
"Aku telah menyampaikan pesanmu pada Lawrence."
"Apa katanya? Dia bingung sekali, ya?"
"Ya. Aku yakin dia tidak mengerti."
Saya menyangka Poirot akan kecewa, tapi ternyata dia mengatakan bahwa dia sudah
menduga demikian dan dia merasa senang. Tapi keangkuhan saya membuat saya
menahan diri untuk bertanya lebih lanjut.
Poirot beralih ke hal lain.
"Mengapa Nona Cynthia tidak makan siang hari ini?
"Dia di rumah sakit. Melanjutkan peker¬jaannya."
"Ah, gadis itu rajin sekali. Dan cantik. Seperti gambar-gambar yang pernah aku lihat
di Itali. Aku ingin melihat kamar obatnya. Kira-kira dia keberatan tidak, ya?"
"Aku rasa dia akan senang sekali. Tempat kecil itu cukup menarik."
."Apa dia selalu di situ setiap hari?"
"Hari Rabu dia libur. Hari Sabtu dia pulang untuk makan siang. Itu saja hari
liburnya."
"Akan aku ingat-ingat. Wanita-wanita sekarang sangat maju. Dan Nona Cynthia
termasuk wanita cerdas—ah, dia memang pandai,"
"Ya, Dia telah lulus ujian yang sangat ketat."
"Tentu. Pekerjaannya juga menuntut tanggung jawab. Ada racun yang keras di kamar
obatnya?"
"Ya. Dia pernah menunjukkannya kepadaku Racun itu terkunci di dalam sebuah
lemari kecil. Mereka harus hati-hati. Kunci lemari itu selalu mereka simpan sebelum
pergi."
"Tentu saja. Apa lemari itu dekat dengan jendela?"
"Tidak. Di sisi lain ruangan itu. Mengapa?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Hanya bertanya. Kau mau masuk?"
Kami telah sampai di pondok Poirot.
"Terima kasih. Sebaiknya aku kembali saja. Aku mau lewat jalan memutar di hutan."
Hutan sekeliling Styles memang indah. Saya berjalan dengan santai di taman terbuka
yang sejuk. Suara burung yang mencicit memberi rasa damai di hati. Saya berjalan
melewati jalan setapak dan akhirnya duduk di kaki sebatang pohon besar. Perasaan
saya menjadi damai, hati saya bertambah sejuk. Saya juga memaafkan Poirot.
Akhirnya saya menguap.
Saya memikirkan pembunuhan itu, dan saya tertegun karena rasanya kejadian itu
seperti tak nyata dan jauh.
Saya menguap lagi.
Barangkali juga, pikir saya, hal itu tak pernah terjadi. Tentu itu hanya sebuah mimpi
buruk. Yang terjadi adalah Lawrence membunuh Alfred Inglethorp dengan tongkat
kriket. Tapi aneh. Mengapa John berteriak-teriak, "Tidak, tidak bisa!"
Saya terbangun karena kaget.
Saya segera sadar bahwa saya dalam posisi yang sulit. Karena, kira-kira empat meter
di depan saya, John dan Mary Cavendish berdiri berhadapan dan kelihatannya sedang
bertengkar. Rupanya mereka tidak tahu bahwa saya ada di situ. John mengulangi katakata
yang telah membuat saya terbangun. "Mary, pokoknya tidak bisa. Aku tak
setuju."
Suara Mary terdengar tenang dan dingin,
"Apa kau punya hak untuk mencampuri tindakanku?"
"Kita akan digunjingkan orang sedesa! Ibu baru saja dimakamkan, dan sekarang kau
main-main dengan laki-laki itu."
"Oh." Mary mengangkat bahu. "Rupanya kau cuma memikirkan gosip di desa!"
"Bukan itu saja. Aku sudah muak melihat laki-laki itu mondar-mandir. Dia kan polisi
Yahudi."
"Setitik darah Yahudi sih tak apa-apa. Malah membuat hidup lebih bergairah
daripada..." —Dia memandang suaminya— "ketololan seorang Ing¬gris yang dingin."
Saya melihat api di matanya dan es dalam suaranya. Tak heran bila wajah John
menjadi merah padam.
"Mary!"
"Ya?" Nada suaranya tak berubah. Akhirnya John menjadi lemah.
"Jadi kau tetap akan menemui Bauerstein, walaupun aku sudah mengatakan tidak
suka?" "Kalau aku mau." "Kau menentangku?"
"Tidak. Tapi aku tak bisa menerima kalau kau menganggap bahwa kau punya h'ak
untuk mencela perbuatanku. Apa kau tidak punya teman yang mungkin membuatku
benci?"
John terdiam. Warna merah meyusut dari wajahnya.
"Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Kau mengerti," kata Mary tenang. "Kau mengerti, bukan, bahwa kau tak punya hak
untuk mendikte&tt dalam memilih teman?"
John memandang Mary dengan wajah memelas.
"Tak ada hak? Apakah aku tak punya hak, Mary? Mary—" Tangannya terulur.
Suaianya gemetar.
Sesaat saya mengira Mary akan merasa kasihan dan menyerah. Wajahnya menjadi
lembut, tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru,
"Tidak!"
Dia terus saja berjalan ketika John meloncat di belakangnya dan memegang
lengannya,
"Mary," katanya dengan suara tenang, "apa kau jatuh cinta pada si Bauerstein itu?"
Mary menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba ekspresi wajahnya menjadi aneh, ada sesuatu yang
membuatnya tampak muda dan abadi—dalam senyumnya itu.
Dia membebaskan lengannya dari tangan John dan pelan-pelan berkata seenaknya,
"Barangkali."
Dengan cepat dia berjalan pergi meninggalkan John yang berdiri seperti patung.
Saya berdiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah
John dan dengan sengaja menginjak beberapa ranting kering. John memalingkan
kepalanya. Untunglah dia mengira bahwa saya baru saja ke tempat itu.
"Halo, Hastings! Baru mengantar Poirot, ya? Orang itu aneh. Benarkah dia hebat?"
"Dia adalah salah seorang detektif yang paling hebat pada zamannya."
"Oh, kalau begitu dia memang bisa diharapkan. Ah, dunia memang buruk."
"Kau berpendapat begitu?" tanya saya.
"Ya! Pertama, kasus kematian itu. Orang-orang Scotland Yard keluar-masuk rumah
seenaknya! Muncul di sana-sini begitu saja. Lalu berita di koran-koran dengan tulisan
sebesar gajah—dasar wartawan usil!
Kau tahu, ada segerombolan orang mengawasi kami di dekat pintu gerbang tadi pagi.
Seperti Ruang Horor-nya Madame Tussaud saja. Menyebalkan!"
"Sabar, John," kata saya menghibur. "Tak akan selamanya begitu."
"Benarkah? Ini bisa berlangsung cukup lama sehingga kami tidak mungkin lagi
berjalan dengan kepala tegak."
"Tidak, tidak. Angan-anganmu sudah tak sehat
"Dikejar-kejar wartawan dan dipelototi orang-orang bego memang bisa membuat
orang jadi gila! Tapi ada yang lebih buruk dari itu."
"Apa?"
John merendahkan suaranya,
"Kau tak pernah berpikir, Hastings aku serasa dikejar-kejar mimpi buruk—ingin tahu
siapa yang melakukannya? Kadang-kadang aku merasa bah¬wa kejadian itu
merupakan suatu kecelakaan saja. Karena-—karena—siapa sih yang melakukannya?
Inglethorp tak masuk hitungan lagi. Jadi tak ada lagi yang melakukannya—kecuali—
salah satu dari kita "
Ya, memang seperti sebuah mimpi buruk! Salah satu dari kita! Ya, memang,
kecuali—
Tiba-tiba saja muncul sebuah pikiran di kepala saya. Dengan cepat saya menganalisa.
Memang tambah lama tambah jelas.
Kelakuan Poirot yang misterius. Petunjuk-petunjuknya—cocok! Tolol, mengapa hal
itu tak perhah terpikir oleh saya? Kalau gagasan ini benar, kami semua pasti akan
lega.
"Tidak, John," kata saya. "Pasti bukan salah satu dari kita. Tak mungkin." "Ya. Tapi
siapa lagi?" "Kau tak bisa menebak?" "Tidak."
Saya memandang berkeliling dengan hati-hati, lalu berbisik.
"Dokter Bauerstein!"
"Tak mungkin!"
"Kenapa tidak?"
"Apa yang didapatnya dengan kematian ibuku?"
"Memang benar. Tapi Poirot berpikir begitu."
"Poirot? Benar? Bagaimana kau tahu?"
Saya ceritakan reaksi Poirot ketika dia tahu bahwa Dr. Bauerstein datang ke Styles
pada hari kematian ibunya sambil menambahkan,
"Dia mengatakan dua kali, 'Segalanya berubah.' Aku berpikir-pikir terus sesudah itu.
Kau tahu kan bagaimana Inglethorp mengatakan dia meletakkan kopi di ruang depan?
Saat itu kan Dokter Bauerstein datang. Ada kemungkinan pada waktu Inglethorp
menyuruhnya masuk, dia memasukkan sesuatu ke dalam cangkir kopi itu."
"Hm. Terlalu berbahaya," kata John.. "Ya, tapi mungkin."
"Bagaimana dia tahu bahwa kopi itu adalah kopi Ibu? Aku rasa tidak masuk akal."
"Kau benar. Memang tidak begitu kejadiannya. Dengar." Saya menceritakan tentang
sampel coklat yang dibawa Poirot untuk Tapi saya teringat akan satu hal
lain.dianalisa.
John menyela.
"Tapi Bauerstein kan sudah menganalisanya?"
"Justru itulah. Sampai sekarang aku tidak mengerti. Kau mengerti maksudku?
Bauerstein telah menganalisa—justru itulah. Seandainya Bauerstein adalah
pelakunya, mudah sekali baginya untuk mengganti contoh coklat itu. Dia tinggal
mengirimnya untuk dianalisa. Jelas mereka tak menemukan strychnine! Tapi tak
seorang pun yang punya pikiran untuk mencurigai Bauer¬stein—kecuali Poirot."
"Bagaimana dengan rasa pahit yang tak bisa disembunyikan coklat?"
"Kita kan percaya saja pada omongannya. Dan ada kemungkinan-kemungkinan lain.
Dia kan diakui sebagai salah seorang ahli toksikologi—"
"Salah seorang apa? Coba ulangi."
"Dia tahu lebih banyak tentang racun daripada kita. Barangkali saja dia menemukan
suatu cara untuk membuat strychnine tidak ada rasanya. Atau barangkali bukan
strychnine, tetapi racun lain yang memberikan gejala peracunan yang sama, '
"Hm, ya barangkali," kata John. "Tapi bagaimana dia mencampurnya ke dalam
coklat? Kan tidak diletakkan di bawah?"
"Ya, benar," saya mengakui dengan enggan.
Tiba-tiba sebuah kemungkinan hinggap di kepala saya. Saya berdoa semoga
kemungkinan itu tidak terpikirkan oleh John. Saya meliriknya. Dia sedang
mengerutkan dahinya. Saya menarik napas lega karena kemungkinan yang muncul di
benak saya adalah: bahwa Dr. Bauerstein mungkin punya kaki-tangan.
Tapi rasanya tidak mungkin! Tentunya seorang wanita secantik Mary Cavendish tak
akan meracun orang.
Tiba-tiba saya teringat percakapan pertama kami ketika saya baru datang. Saya
teringat pada pancaran matanya ketika dia mengatakan bahwa racun adalah senjata
seorang wanita. Betapa gelisahnya dia pada hari Selasa malam itu! Apakah
Nyonya Inglethorp menemukan sesuatu antara dia dengan Bauerstein dan
mengancamnya untuk memberitahukan hal itu pada suaminya? Mung¬kinkah
pembunuhan itu dilakukan untuk mence¬gah ancaman itu?
Kemudian saya teringat pada percakapan misterius antara Poirot dengan Nona
Howard. Apakah ini yang mereka maksud? Inikah kenyata¬an mengerikan yang tak
ingin dipercayai Evelyn Howard?
Ya. Semuanya cocok.
Tak heran kalau Nona Howard mgin agar hal itu 'ditutupi' saja. Sekarang saya
mengerti kalimatnya yang tak selesai, "Emily sendiri—" Dan dalam hati saya
sependapat dengannya. Nyonya Inglethorp pasti lebih suka menutupi hal semacam itu
daripada membiarkan nama Cavendish tercemar.
"Ada satu hal lain," kata John tiba-tiba. Suaranya membuat saya malu. "Hal lain yang
membuatku ragu-ragu apabila pendapatmu itu benar."
"Apa itu?" tanya saya sambil bersyukur karena dia tidak menyinggung lagi masalah
peracunan dalam coklat itu.
"Fakta bahwa Bauerstein menginginkan agar jenazah Ibu diperiksa. Dia tak perlu
memintanya bila memang dia pelakunya. Si Wilkins bisa memberi alasan bahwa
kematian itu disebabkan oleh serangan jantung."
"Ya. Tapi kita tidak tahu," kata saya ragu-ragu. "Barangkali dia pikir akan lebih aman
kemudian.
Mungkin ada orang yang akan bicara tentang itu. Lalu yang berwajib minta agar
jenazah digali kembali. Akhirnya peracunan itu akan ketahuan juga dan dia akan
berada di posisi yang salah karena tak seorang pun percaya bahwa seseorang dengan
reputasi seperti dia bisa tidak mengenali gejala-gejala peracunan yang kelihatan jelas"
"Ya, memang mungkin," kata John. "Walau¬pun begitu, aku tidak melihat motif yang
menyebabkan dia melakukan hal itu."
Saya gemetar.
"Ah," kata saya, "aku kan belum tentu benar. Dan jangan lupa. Ini di antara kita saja."
"Oh—tentu saja. Tentu saja."Kami bercakap-cakap sambil berjalan. Akhirnya kami
sampai di gerbang kecil yang menuju kebun. Kami mendengar suara orang bercakapcakap.
Rupanya teh sore hari ini dihidangkan di bawah pohon sycamore, seperti di hari
kedatangan saya.
Cynthia sudah datang dari rumah sakit. Saya duduk di dekatnya dan menyampaikan
keinginan Poirot untuk mengunjungi ruang obatnya.
"Benarkah? Aku akan senang sekali. Sebaiknya dia datang pada waktu minum teh.
Nanti aku bicarakan dengan dia. Aku senang sekali padanya. Tapi dia aneh. Dia
membuka brosku o\an memasangnya lagi di dasiku karena katanya letaknya miring."
Saya tertawa.
"Dia memang begitu."
Kami tertawa.
Kemudian kami berdiam sesaat. Sambil meman¬dang ke arah Mary Cavendish,
Cynthia berbisik, "Tuan Hastings." "Ya?"
"Setelah minum aku ingin bicara dengan Anda."
Pandangannya pada Mary membuat saya berpikir. Saya merasa bahwa keduanya
kurang cocok. Untuk pertama kali saya berpikir tentang masa depan gadis itu. Nyonya
Inglethorp tidak memberi warisan apa-apa untuknya. Tapi John dan Mary pasti akan
memintanya untuk tinggal bersama mereka—paling tidak sampai perang berakhir.
Saya tahu bahwa John sayang padanya dan tak akan membiarkan dia pergi.
John, yang tadi masuk ke dalam rumah, sekarang ke luar. Wajahnya yang biasanya
tenang itu kelihatan menahan marah."Dasar detektif brengsek! Aku tak tahu apa yang
mereka cari! Keluar-masuk kamar, mengobrak-abrik barang-barang. Ini keterlaluan.
Rupanya ketika kita tak di rumah mereka menggunakan kesempatan itu sebaikbaiknya.
Aku akan bicara dengan si Japp!"
"Semua diintip, diawasi," gerutu Nona Ho¬ward.
Lawrence berpendapat bahwa mereka harus memperlihatkan bahwa mereka telah
berbuat sesuatu.
Mary Cavendish tak berkata apa-apa. Setelah minum, saya mengajak Cynthia
berja¬lan-jalan. Kami menuju hutan.
"Nah, apa yang ingin kaukatakan?" tanya saya setelah kami jauh dari mata yang
menyelidik.
Dengan menarik napas panjang Cynthia meng¬hempaskan tubuhnya di rumput dan
membuka topi. Cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan membuat
rambutnya berkilauan laksana ombak emas.
"Tuan Hastings—Anda selalu baik. Dan tahu banyak hal."
Saya baru sadar sekarang betapa menariknya gadis itu! Lebih menarik daripada Mary
yang pernah mengatakan hal seperti itu.
"Jadi?" kata saya ramah ketika dia menjadi ragu-ragu.
"Aku ingin minta nasihat. Apa yang harus kulakukan?" "Kaulakukan?"
"Ya. Bibi Emily selalu mengatakan bahwa aku akan mendapat bantuan. Mungkin dia
lupa atau tidak berpikir bahwa dia akhirnya meninggal— pokoknya aku sekarang
tidak mendapat bantuan! Dan aku tak tahu mau apa. Apa sebaiknya aku pergi saja?"
"Ya, Tuhan, jangan! Aku yakin mereka tak akan membiarkanmu pergi."
Cynthia ragu-ragu sejenak. Tangannya yang mungil bermain-main dengan rumput.
Lalu dia berkata, "Nyonya Cavendish tidak menyukaiku. Dia benci padaku."
"Benci?" seru saya heran.
Cynthia mengangguk.
"Ya. Aku tidak mengerti mengapa begitu, tapi benar—dia tidak suka padaku. Yang
satu juga."
"Kau keliru," kata saya menghiburi "Sebalik¬nya, John sayang sekali padamu."
"Ya, John. Yang kumaksudkan Lawrence. Sebenarnya aku tak peduli kalau dia
membenciku. Tapi, sungguh mengerikan kalau tak ada orang yang benar-benar
mencintai kita."
"Ah, tapi mereka sayang padamu, Cynthia. Kau keliru," kata saya bersungguhsungguh.
"Ada John—dan Nona Howard—"
Cynthia mengangguk dengan wajah sedih. "Ya. John sayang padaku. Dan Evie juga.
Tapi Lawrence tak pernah mau bicara padaku kalau tidak perlu. Dan Mary berusaha
keras untuk bersikap baik. Dia ingin agar Evie bersama mereka—dia malahan
memohon-mohon. Tapi dia tidak menghendaki aku tinggal di sini. Dan— dan—aku
tak tahu harus berbuat apa." Tiba-tiba gadis itu menangis.
Saya tak tahu apa yang membuat saya bersikap begitu. Mungkin karena
kecantikannya yang begitu mempesona dalam cahaya matahari sore; atau rasa kasihan
melihat seseorang yang begitu kesepian; atau rasa lega karena akhirnya saya benarbenar
bertemu dengan orang yang tak mungkin terlibat dalam tragedi itu. Tanpa saya
sadari saya pegang tangannya dan berkata,
"Kau mau jadi istriku, Cynthia?"
Rupanya saya telah memberi obat manjur untuk air matanya. Dia berdiri, menarik
tangannya, dan berkata dengan tegas,
"Jangan tolol!"
Saya merasa tersinggung.
"Aku tidak tolol. Aku hanya bertanya apakah kau mau menerima kehormatan untuk
menjadi istriku."
Cynthia tertawa dan memanggil saya 'sayangku yang lucu'.
1
"Kau sangat baik," katanya, "tapi kau kan tahu bahwa kau tidak menginginkannya."
"Aku ingin. Aku punya—"
"Sudahlah. Kau sebenarnya tidak mengingin kannya—dan aku juga tidak."
"Baik kalau begitu," kata saya kaku. "Tapi aku tak melihat sesuatu yang lucu yang
bisa ditertawa¬kan dalam hal ini. Tak ada yang lucu kalau seorang pria meminang
seorang gadis."
"Kau benar," kata Cynthia. "Pasti ada orang yang mau menerima lamaranmu nanti.
Terima kasih. Kau membuatku gembira. Sampai ketemu lagi."
Dengan wajah cerah dia menghilang di balik pepohonan.
Saya merasa kecewa. Tapi tiba-tiba saja muncul pikiran untuk pergi ke desa menemui
Bauerstein. Orang itu perlu diamat-amati. Tapi dia tidak perlu tabu bahwa sedang
dicurigai. Rasanya saya bisa bersikap diplomatis. Saya pergi ke apartemen Bauerstein
dan mengetuk pintu.
Seorang wanita tua membukakan pintu.
"Selamat sore," kata saya ramah. "Bisa saya bertemu dengan Dokter Bauerstein?" Dia
memandang heran pada saya. "Anda belum tahu?" "Tentang apa?" "Tentang dia."
"Ada apa?" "Diambil." "Diambil?" "Ya. Oleh polisi."
"Polisi!" saya terkejut. "Maksud Anda dia ditahan polisi?" "Ya, betul. Dan—"
Saya tidak mendengar lebih jauh, saya segera berlari ke tempat Poirot.
Kembali Ke Atas Go down
http://b1t4-daniyaputri.blogspot.com/
 

Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9)

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

 Similar topics

-
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.4)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.5)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.6)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.7)
» Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.8)

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
DETECTIVE AND MAFIA :: DAM Office :: Library :: Story of Detective-