Cherrémio Chii Newbie
Age : 28 Reputation : 5 Jumlah posting : 265
| Subyek: Agatha Christie MISTERI DI STYLES (chap.9) Mon Mar 28, 2011 3:31 pm | |
| 9. DR. BAUERSTEIN SAYA belum mendapat kesempatan baik untuk menyampaikan pesan Poirot kepada Lawrence. Tapi ketika saya sedang berjalan-jalan di halaman untuk mendinginkan emosi, saya melihat Lawren¬ce di lapangan kriket, memukul-mukul dua buah bola kuno dengan tongkat kuno—tanpa sasaran yang jelas. Saya rasa sekaranglah saya harus bicara. Sebenarnya saya tidak mengerti pesan tersebut. Tapi saya akan mendengar baik-baik jawaban Lawrence. Mungkin dari situ saya akan dapat menarik kesimpulan. "Aht kebetulan. Dari tadi aku cari-cari," kata saya berbohong. "Benarkah?" "Ya. Ada pesan dari Poirot." "Ya?" "Aku harus mengatakannya bila tak ada orang lain." Saya melirik dia untuk melihat reaksinya. Tetapi ekspresinya tidak berubah. Mungkinkah dia sudah mengerti apa yang akan saya katakan? "Apa pesannya?" "Begini," saya mencoba mendramatisir suasana. " 'Carilah cangkir kopt ekstra itu, dan kau akan tenang kembali.' " "Apa maksudnya?" tanya Lawrence dengan polos. "Kau tidak mengerti?" tanya saya. "Sama sekali tidak. Kau?" Saya terpaksa menggelengkan kepala. "Cangkir kopi ekstra yang mana?" "Aku tak tahu." "Sebaiknya dia tanya Dorcas atau salah satu pelayan yang lain, kalau dia ingin tahu tentang cangkir-cangkir kopi. Mereka lebih tahu karena itu urusan mereka dan bukan urusanku. Aku tak tahu apa-apa tentang cangkir kopi, kecuali cangkir-cangkir yang belum pernah terpakai itil. Setelan Worcester yang indah sekali. Kau bukan peneliti karya seni, kan?" Saya menggelengkan kepala. "Sayang sekali. Benar-benar porselen yang indah—melihatnya saja kita sudah senang, apalagi memegangnya." "Jadi apa yang harus kukatakan pada Poirot?" "Katakan saja aku tidak mengerti pesannya." "Baiklah." Saya sedang berjalan kembali menuju rumah, ketika tiba-tiba dia berteriak, "He, dia bilang apa pada pesannya tadi? Kalimat terakhir. Coba ulangi sekali lagi." " 'Carilah cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali'. Kau benar-benar tidak tahu?" tanya saya mendesak. Dia menggelengkan kepalanya, 'Tidak," katanya bingung. "Seandainya saja aku tahu." Kami mendengar gong berbunyi dan masuk kc dalam rumah bersama-sama. Poirot yang diminta John untuk ikut makan siang bersama sudah menunggu kami di meja. Tanpa diperingatkan, kami semua menghindari percakapan tentang tragedi yang baru lalu. Tetapi setelah biskuit dan keju diedarkan dan Dorcas meninggalkan ruangan, Poirot tiba-tiba saja mendekati Nyonya Cavendish dan berkata, "Maaf, Nyonya, seandainya saya mengingatkan kembali pada hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya punya beberapa ide kecil dan ingin menanyakan satu-dua hal pada Nyonya." "Dengan senang hati, Tuan Poirot." "Anda baik sekali. Anda pernah mengatakan bahwa pintu yang menghubungkan kamar Nyo¬nya Inglethorp dengan kamar Nona Cynthia digerendel, bukan?" "Ya. Saya mengatakan hal itu pada waktu pemeriksaan," jawab Nyonya Cavendish heran. "Digerendel?" "Ya." Dia kelihatan bingung. "Maksud saya, Anda yakin bahwa pintu itu digerendel, tidak sekadar dikunci?" "Oh, saya mengerti yang Anda maksud. Saya tak tahu. Saya mengatakan pintu itu digerendel— maksud saya dikunci, dan saya tak bisa membuka¬nya. Tapi saya yakin bahwa semua pintu digerendel dari dalam." "Tapi ada kemungkinan bahwa pintu itu hanya terkunci?" "Oh, ya." 1 "Dan Anda sendiri tidak memperhatikan hal itu ketika masuk ke kamar Nyonya Inglethorp?" "Saya—saya rasa digerendel." "Tapi Anda tidak memperhatikannya?" "Tidak. Saya tidak memperhatikan." "Saya melihatnya," tiba-tiba Lawrence me¬nyela. "Saya kebetulan melihat bahwa pintu itu digerendel " "Ah, kalau begitu sudah pasti," kata Poirot dengan wajah kecewa. Saya merasa senang karena 'ide-ide kecil' Poirot ternyata tak ada hasilnya. Setelah makan siang, Poirot minta saya menemaninya pulang. Saya menyanggupinya dengan setengah hati. "Kau marah, ya?" kata Poirot ketika kami berjalan melewati kebun. "Tidak," jawab saya dingin. "Bagus. Aku merasa lega." Ini bukan hal yang saya harapkan. Saya sebetulnya ingin agar dia merasakan sikap saya yang kaku. Tapi saya malah merasakan kehangatan sikap Poirot. Hati saya meleleh. "Aku telah menyampaikan pesanmu pada Lawrence." "Apa katanya? Dia bingung sekali, ya?" "Ya. Aku yakin dia tidak mengerti." Saya menyangka Poirot akan kecewa, tapi ternyata dia mengatakan bahwa dia sudah menduga demikian dan dia merasa senang. Tapi keangkuhan saya membuat saya menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Poirot beralih ke hal lain. "Mengapa Nona Cynthia tidak makan siang hari ini? "Dia di rumah sakit. Melanjutkan peker¬jaannya." "Ah, gadis itu rajin sekali. Dan cantik. Seperti gambar-gambar yang pernah aku lihat di Itali. Aku ingin melihat kamar obatnya. Kira-kira dia keberatan tidak, ya?" "Aku rasa dia akan senang sekali. Tempat kecil itu cukup menarik." ."Apa dia selalu di situ setiap hari?" "Hari Rabu dia libur. Hari Sabtu dia pulang untuk makan siang. Itu saja hari liburnya." "Akan aku ingat-ingat. Wanita-wanita sekarang sangat maju. Dan Nona Cynthia termasuk wanita cerdas—ah, dia memang pandai," "Ya, Dia telah lulus ujian yang sangat ketat." "Tentu. Pekerjaannya juga menuntut tanggung jawab. Ada racun yang keras di kamar obatnya?" "Ya. Dia pernah menunjukkannya kepadaku Racun itu terkunci di dalam sebuah lemari kecil. Mereka harus hati-hati. Kunci lemari itu selalu mereka simpan sebelum pergi." "Tentu saja. Apa lemari itu dekat dengan jendela?" "Tidak. Di sisi lain ruangan itu. Mengapa?" Poirot mengangkat bahunya. "Hanya bertanya. Kau mau masuk?" Kami telah sampai di pondok Poirot. "Terima kasih. Sebaiknya aku kembali saja. Aku mau lewat jalan memutar di hutan." Hutan sekeliling Styles memang indah. Saya berjalan dengan santai di taman terbuka yang sejuk. Suara burung yang mencicit memberi rasa damai di hati. Saya berjalan melewati jalan setapak dan akhirnya duduk di kaki sebatang pohon besar. Perasaan saya menjadi damai, hati saya bertambah sejuk. Saya juga memaafkan Poirot. Akhirnya saya menguap. Saya memikirkan pembunuhan itu, dan saya tertegun karena rasanya kejadian itu seperti tak nyata dan jauh. Saya menguap lagi. Barangkali juga, pikir saya, hal itu tak pernah terjadi. Tentu itu hanya sebuah mimpi buruk. Yang terjadi adalah Lawrence membunuh Alfred Inglethorp dengan tongkat kriket. Tapi aneh. Mengapa John berteriak-teriak, "Tidak, tidak bisa!" Saya terbangun karena kaget. Saya segera sadar bahwa saya dalam posisi yang sulit. Karena, kira-kira empat meter di depan saya, John dan Mary Cavendish berdiri berhadapan dan kelihatannya sedang bertengkar. Rupanya mereka tidak tahu bahwa saya ada di situ. John mengulangi katakata yang telah membuat saya terbangun. "Mary, pokoknya tidak bisa. Aku tak setuju." Suara Mary terdengar tenang dan dingin, "Apa kau punya hak untuk mencampuri tindakanku?" "Kita akan digunjingkan orang sedesa! Ibu baru saja dimakamkan, dan sekarang kau main-main dengan laki-laki itu." "Oh." Mary mengangkat bahu. "Rupanya kau cuma memikirkan gosip di desa!" "Bukan itu saja. Aku sudah muak melihat laki-laki itu mondar-mandir. Dia kan polisi Yahudi." "Setitik darah Yahudi sih tak apa-apa. Malah membuat hidup lebih bergairah daripada..." —Dia memandang suaminya— "ketololan seorang Ing¬gris yang dingin." Saya melihat api di matanya dan es dalam suaranya. Tak heran bila wajah John menjadi merah padam. "Mary!" "Ya?" Nada suaranya tak berubah. Akhirnya John menjadi lemah. "Jadi kau tetap akan menemui Bauerstein, walaupun aku sudah mengatakan tidak suka?" "Kalau aku mau." "Kau menentangku?" "Tidak. Tapi aku tak bisa menerima kalau kau menganggap bahwa kau punya h'ak untuk mencela perbuatanku. Apa kau tidak punya teman yang mungkin membuatku benci?" John terdiam. Warna merah meyusut dari wajahnya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kau mengerti," kata Mary tenang. "Kau mengerti, bukan, bahwa kau tak punya hak untuk mendikte&tt dalam memilih teman?" John memandang Mary dengan wajah memelas. "Tak ada hak? Apakah aku tak punya hak, Mary? Mary—" Tangannya terulur. Suaianya gemetar. Sesaat saya mengira Mary akan merasa kasihan dan menyerah. Wajahnya menjadi lembut, tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru, "Tidak!" Dia terus saja berjalan ketika John meloncat di belakangnya dan memegang lengannya, "Mary," katanya dengan suara tenang, "apa kau jatuh cinta pada si Bauerstein itu?" Mary menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba ekspresi wajahnya menjadi aneh, ada sesuatu yang membuatnya tampak muda dan abadi—dalam senyumnya itu. Dia membebaskan lengannya dari tangan John dan pelan-pelan berkata seenaknya, "Barangkali." Dengan cepat dia berjalan pergi meninggalkan John yang berdiri seperti patung. Saya berdiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah John dan dengan sengaja menginjak beberapa ranting kering. John memalingkan kepalanya. Untunglah dia mengira bahwa saya baru saja ke tempat itu. "Halo, Hastings! Baru mengantar Poirot, ya? Orang itu aneh. Benarkah dia hebat?" "Dia adalah salah seorang detektif yang paling hebat pada zamannya." "Oh, kalau begitu dia memang bisa diharapkan. Ah, dunia memang buruk." "Kau berpendapat begitu?" tanya saya. "Ya! Pertama, kasus kematian itu. Orang-orang Scotland Yard keluar-masuk rumah seenaknya! Muncul di sana-sini begitu saja. Lalu berita di koran-koran dengan tulisan sebesar gajah—dasar wartawan usil! Kau tahu, ada segerombolan orang mengawasi kami di dekat pintu gerbang tadi pagi. Seperti Ruang Horor-nya Madame Tussaud saja. Menyebalkan!" "Sabar, John," kata saya menghibur. "Tak akan selamanya begitu." "Benarkah? Ini bisa berlangsung cukup lama sehingga kami tidak mungkin lagi berjalan dengan kepala tegak." "Tidak, tidak. Angan-anganmu sudah tak sehat "Dikejar-kejar wartawan dan dipelototi orang-orang bego memang bisa membuat orang jadi gila! Tapi ada yang lebih buruk dari itu." "Apa?" John merendahkan suaranya, "Kau tak pernah berpikir, Hastings aku serasa dikejar-kejar mimpi buruk—ingin tahu siapa yang melakukannya? Kadang-kadang aku merasa bah¬wa kejadian itu merupakan suatu kecelakaan saja. Karena-—karena—siapa sih yang melakukannya? Inglethorp tak masuk hitungan lagi. Jadi tak ada lagi yang melakukannya—kecuali— salah satu dari kita " Ya, memang seperti sebuah mimpi buruk! Salah satu dari kita! Ya, memang, kecuali— Tiba-tiba saja muncul sebuah pikiran di kepala saya. Dengan cepat saya menganalisa. Memang tambah lama tambah jelas. Kelakuan Poirot yang misterius. Petunjuk-petunjuknya—cocok! Tolol, mengapa hal itu tak perhah terpikir oleh saya? Kalau gagasan ini benar, kami semua pasti akan lega. "Tidak, John," kata saya. "Pasti bukan salah satu dari kita. Tak mungkin." "Ya. Tapi siapa lagi?" "Kau tak bisa menebak?" "Tidak." Saya memandang berkeliling dengan hati-hati, lalu berbisik. "Dokter Bauerstein!" "Tak mungkin!" "Kenapa tidak?" "Apa yang didapatnya dengan kematian ibuku?" "Memang benar. Tapi Poirot berpikir begitu." "Poirot? Benar? Bagaimana kau tahu?" Saya ceritakan reaksi Poirot ketika dia tahu bahwa Dr. Bauerstein datang ke Styles pada hari kematian ibunya sambil menambahkan, "Dia mengatakan dua kali, 'Segalanya berubah.' Aku berpikir-pikir terus sesudah itu. Kau tahu kan bagaimana Inglethorp mengatakan dia meletakkan kopi di ruang depan? Saat itu kan Dokter Bauerstein datang. Ada kemungkinan pada waktu Inglethorp menyuruhnya masuk, dia memasukkan sesuatu ke dalam cangkir kopi itu." "Hm. Terlalu berbahaya," kata John.. "Ya, tapi mungkin." "Bagaimana dia tahu bahwa kopi itu adalah kopi Ibu? Aku rasa tidak masuk akal." "Kau benar. Memang tidak begitu kejadiannya. Dengar." Saya menceritakan tentang sampel coklat yang dibawa Poirot untuk Tapi saya teringat akan satu hal lain.dianalisa. John menyela. "Tapi Bauerstein kan sudah menganalisanya?" "Justru itulah. Sampai sekarang aku tidak mengerti. Kau mengerti maksudku? Bauerstein telah menganalisa—justru itulah. Seandainya Bauerstein adalah pelakunya, mudah sekali baginya untuk mengganti contoh coklat itu. Dia tinggal mengirimnya untuk dianalisa. Jelas mereka tak menemukan strychnine! Tapi tak seorang pun yang punya pikiran untuk mencurigai Bauer¬stein—kecuali Poirot." "Bagaimana dengan rasa pahit yang tak bisa disembunyikan coklat?" "Kita kan percaya saja pada omongannya. Dan ada kemungkinan-kemungkinan lain. Dia kan diakui sebagai salah seorang ahli toksikologi—" "Salah seorang apa? Coba ulangi." "Dia tahu lebih banyak tentang racun daripada kita. Barangkali saja dia menemukan suatu cara untuk membuat strychnine tidak ada rasanya. Atau barangkali bukan strychnine, tetapi racun lain yang memberikan gejala peracunan yang sama, ' "Hm, ya barangkali," kata John. "Tapi bagaimana dia mencampurnya ke dalam coklat? Kan tidak diletakkan di bawah?" "Ya, benar," saya mengakui dengan enggan. Tiba-tiba sebuah kemungkinan hinggap di kepala saya. Saya berdoa semoga kemungkinan itu tidak terpikirkan oleh John. Saya meliriknya. Dia sedang mengerutkan dahinya. Saya menarik napas lega karena kemungkinan yang muncul di benak saya adalah: bahwa Dr. Bauerstein mungkin punya kaki-tangan. Tapi rasanya tidak mungkin! Tentunya seorang wanita secantik Mary Cavendish tak akan meracun orang. Tiba-tiba saya teringat percakapan pertama kami ketika saya baru datang. Saya teringat pada pancaran matanya ketika dia mengatakan bahwa racun adalah senjata seorang wanita. Betapa gelisahnya dia pada hari Selasa malam itu! Apakah Nyonya Inglethorp menemukan sesuatu antara dia dengan Bauerstein dan mengancamnya untuk memberitahukan hal itu pada suaminya? Mung¬kinkah pembunuhan itu dilakukan untuk mence¬gah ancaman itu? Kemudian saya teringat pada percakapan misterius antara Poirot dengan Nona Howard. Apakah ini yang mereka maksud? Inikah kenyata¬an mengerikan yang tak ingin dipercayai Evelyn Howard? Ya. Semuanya cocok. Tak heran kalau Nona Howard mgin agar hal itu 'ditutupi' saja. Sekarang saya mengerti kalimatnya yang tak selesai, "Emily sendiri—" Dan dalam hati saya sependapat dengannya. Nyonya Inglethorp pasti lebih suka menutupi hal semacam itu daripada membiarkan nama Cavendish tercemar. "Ada satu hal lain," kata John tiba-tiba. Suaranya membuat saya malu. "Hal lain yang membuatku ragu-ragu apabila pendapatmu itu benar." "Apa itu?" tanya saya sambil bersyukur karena dia tidak menyinggung lagi masalah peracunan dalam coklat itu. "Fakta bahwa Bauerstein menginginkan agar jenazah Ibu diperiksa. Dia tak perlu memintanya bila memang dia pelakunya. Si Wilkins bisa memberi alasan bahwa kematian itu disebabkan oleh serangan jantung." "Ya. Tapi kita tidak tahu," kata saya ragu-ragu. "Barangkali dia pikir akan lebih aman kemudian. Mungkin ada orang yang akan bicara tentang itu. Lalu yang berwajib minta agar jenazah digali kembali. Akhirnya peracunan itu akan ketahuan juga dan dia akan berada di posisi yang salah karena tak seorang pun percaya bahwa seseorang dengan reputasi seperti dia bisa tidak mengenali gejala-gejala peracunan yang kelihatan jelas" "Ya, memang mungkin," kata John. "Walau¬pun begitu, aku tidak melihat motif yang menyebabkan dia melakukan hal itu." Saya gemetar. "Ah," kata saya, "aku kan belum tentu benar. Dan jangan lupa. Ini di antara kita saja." "Oh—tentu saja. Tentu saja."Kami bercakap-cakap sambil berjalan. Akhirnya kami sampai di gerbang kecil yang menuju kebun. Kami mendengar suara orang bercakapcakap. Rupanya teh sore hari ini dihidangkan di bawah pohon sycamore, seperti di hari kedatangan saya. Cynthia sudah datang dari rumah sakit. Saya duduk di dekatnya dan menyampaikan keinginan Poirot untuk mengunjungi ruang obatnya. "Benarkah? Aku akan senang sekali. Sebaiknya dia datang pada waktu minum teh. Nanti aku bicarakan dengan dia. Aku senang sekali padanya. Tapi dia aneh. Dia membuka brosku o\an memasangnya lagi di dasiku karena katanya letaknya miring." Saya tertawa. "Dia memang begitu." Kami tertawa. Kemudian kami berdiam sesaat. Sambil meman¬dang ke arah Mary Cavendish, Cynthia berbisik, "Tuan Hastings." "Ya?" "Setelah minum aku ingin bicara dengan Anda." Pandangannya pada Mary membuat saya berpikir. Saya merasa bahwa keduanya kurang cocok. Untuk pertama kali saya berpikir tentang masa depan gadis itu. Nyonya Inglethorp tidak memberi warisan apa-apa untuknya. Tapi John dan Mary pasti akan memintanya untuk tinggal bersama mereka—paling tidak sampai perang berakhir. Saya tahu bahwa John sayang padanya dan tak akan membiarkan dia pergi. John, yang tadi masuk ke dalam rumah, sekarang ke luar. Wajahnya yang biasanya tenang itu kelihatan menahan marah."Dasar detektif brengsek! Aku tak tahu apa yang mereka cari! Keluar-masuk kamar, mengobrak-abrik barang-barang. Ini keterlaluan. Rupanya ketika kita tak di rumah mereka menggunakan kesempatan itu sebaikbaiknya. Aku akan bicara dengan si Japp!" "Semua diintip, diawasi," gerutu Nona Ho¬ward. Lawrence berpendapat bahwa mereka harus memperlihatkan bahwa mereka telah berbuat sesuatu. Mary Cavendish tak berkata apa-apa. Setelah minum, saya mengajak Cynthia berja¬lan-jalan. Kami menuju hutan. "Nah, apa yang ingin kaukatakan?" tanya saya setelah kami jauh dari mata yang menyelidik. Dengan menarik napas panjang Cynthia meng¬hempaskan tubuhnya di rumput dan membuka topi. Cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan membuat rambutnya berkilauan laksana ombak emas. "Tuan Hastings—Anda selalu baik. Dan tahu banyak hal." Saya baru sadar sekarang betapa menariknya gadis itu! Lebih menarik daripada Mary yang pernah mengatakan hal seperti itu. "Jadi?" kata saya ramah ketika dia menjadi ragu-ragu. "Aku ingin minta nasihat. Apa yang harus kulakukan?" "Kaulakukan?" "Ya. Bibi Emily selalu mengatakan bahwa aku akan mendapat bantuan. Mungkin dia lupa atau tidak berpikir bahwa dia akhirnya meninggal— pokoknya aku sekarang tidak mendapat bantuan! Dan aku tak tahu mau apa. Apa sebaiknya aku pergi saja?" "Ya, Tuhan, jangan! Aku yakin mereka tak akan membiarkanmu pergi." Cynthia ragu-ragu sejenak. Tangannya yang mungil bermain-main dengan rumput. Lalu dia berkata, "Nyonya Cavendish tidak menyukaiku. Dia benci padaku." "Benci?" seru saya heran. Cynthia mengangguk. "Ya. Aku tidak mengerti mengapa begitu, tapi benar—dia tidak suka padaku. Yang satu juga." "Kau keliru," kata saya menghiburi "Sebalik¬nya, John sayang sekali padamu." "Ya, John. Yang kumaksudkan Lawrence. Sebenarnya aku tak peduli kalau dia membenciku. Tapi, sungguh mengerikan kalau tak ada orang yang benar-benar mencintai kita." "Ah, tapi mereka sayang padamu, Cynthia. Kau keliru," kata saya bersungguhsungguh. "Ada John—dan Nona Howard—" Cynthia mengangguk dengan wajah sedih. "Ya. John sayang padaku. Dan Evie juga. Tapi Lawrence tak pernah mau bicara padaku kalau tidak perlu. Dan Mary berusaha keras untuk bersikap baik. Dia ingin agar Evie bersama mereka—dia malahan memohon-mohon. Tapi dia tidak menghendaki aku tinggal di sini. Dan— dan—aku tak tahu harus berbuat apa." Tiba-tiba gadis itu menangis. Saya tak tahu apa yang membuat saya bersikap begitu. Mungkin karena kecantikannya yang begitu mempesona dalam cahaya matahari sore; atau rasa kasihan melihat seseorang yang begitu kesepian; atau rasa lega karena akhirnya saya benarbenar bertemu dengan orang yang tak mungkin terlibat dalam tragedi itu. Tanpa saya sadari saya pegang tangannya dan berkata, "Kau mau jadi istriku, Cynthia?" Rupanya saya telah memberi obat manjur untuk air matanya. Dia berdiri, menarik tangannya, dan berkata dengan tegas, "Jangan tolol!" Saya merasa tersinggung. "Aku tidak tolol. Aku hanya bertanya apakah kau mau menerima kehormatan untuk menjadi istriku." Cynthia tertawa dan memanggil saya 'sayangku yang lucu'. 1 "Kau sangat baik," katanya, "tapi kau kan tahu bahwa kau tidak menginginkannya." "Aku ingin. Aku punya—" "Sudahlah. Kau sebenarnya tidak mengingin kannya—dan aku juga tidak." "Baik kalau begitu," kata saya kaku. "Tapi aku tak melihat sesuatu yang lucu yang bisa ditertawa¬kan dalam hal ini. Tak ada yang lucu kalau seorang pria meminang seorang gadis." "Kau benar," kata Cynthia. "Pasti ada orang yang mau menerima lamaranmu nanti. Terima kasih. Kau membuatku gembira. Sampai ketemu lagi." Dengan wajah cerah dia menghilang di balik pepohonan. Saya merasa kecewa. Tapi tiba-tiba saja muncul pikiran untuk pergi ke desa menemui Bauerstein. Orang itu perlu diamat-amati. Tapi dia tidak perlu tabu bahwa sedang dicurigai. Rasanya saya bisa bersikap diplomatis. Saya pergi ke apartemen Bauerstein dan mengetuk pintu. Seorang wanita tua membukakan pintu. "Selamat sore," kata saya ramah. "Bisa saya bertemu dengan Dokter Bauerstein?" Dia memandang heran pada saya. "Anda belum tahu?" "Tentang apa?" "Tentang dia." "Ada apa?" "Diambil." "Diambil?" "Ya. Oleh polisi." "Polisi!" saya terkejut. "Maksud Anda dia ditahan polisi?" "Ya, betul. Dan—" Saya tidak mendengar lebih jauh, saya segera berlari ke tempat Poirot.
|
|